“Partai mesti berhubungan rapat dengan massa terutama dalam saat yang penting, dengan segala golongan rakyat dari seluruh kepulauan Indonesia. Dengan tidak berhubungan seperti itu, tak akan ada pimpinan yang revolusioner.” – Tan Malaka, Aksi Massa 1926.
Apa yang dikatakan Tan Malaka itu bisa direfleksikan juga untuk saat ini, dimana Indonesia belumlah memiliki pemimpin yang revolusioner, padahal banyak partai dengan visi misi bahkan nama dan lambangnya yang menjanjikan (terkadang mengggelikan).
Kenyataan telah memberikan jawaban kepada kita bahwa partai sesungguhnya tidak merepresentasikan keinginan rakyat, menjadi sebuah persoalan yang sungguh dilematis di alam demokratisasi Indonesia.
Dalam situasi-situasi penting kita harus akui bahwa partai-partai politik yang ada sekarang banyak juga yang turun merapat kepada masyarakat. Namun, lagi-lagi situasi penting itu hanya berdasarkan kacamata partai. Penting disaat menjelang pemilu, penting untuk meraup suara pemilih, sedangkan pada ruang dan waktu lainnya semuanya selalu identik dengan kebutuhan partai semata-mata.
“Revolusi itu menciptakan” – kata Tan Malaka.
Artinya, pemimpin yang revolusioner yang dimaksud Tan Malaka adalah pemimpin yang mampu menciptakan perubahan bagi rakyatnya dan perubahan ini tentunya menuju kearah yang lebih baik. Untuk menentukan ‘perubahan yang baik itu’ maka ia harus menemukan apa sesungguhnya yang hendak dirubahnya, lalu akan dirubah menjadi seperti apa. – perubahan yang tidak sekedar wacana.
Semua perubahan yang akan dilakukan seorang pemimpin tentunya tergantung dari kebutuhan rakyat secara umum. Maka, merapat kepada rakyat adalah usaha untuk menemukan persoalan dan sekaligus mencari titik pemecahannya. Jika ini tidak dilakukan oleh pemimpin atau katakanlah calon pemimpin dan partainya, maka jangan harap muncul tokoh pemimpin yang mempunyai mental dan kualitas yang revolusioner.
Dalam titik lainnya Tan Malaka mengatakan bahwa jalan untuk mengumpulkan dan memusatkan tenaga-tenaga revolusioner yang ada di Indonesia maka harus ada satu partai yang revolusioner. Benarkah? Haruskah? Dan akankah?
Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 19 Februari 1896 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 16 April 1949 pada umur 53 tahun[1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.
Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.[rujukan?]
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.[2]
Riwayat
• Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
• Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
• Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
• Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
• Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
• Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."
Madilog
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.
Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Tan Malaka dalam fiksi
Sampul Majalah Tempo dengan Tan Malaka
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
• Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
• Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
• Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
• Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
• Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
Buku
Dari Pendjara ke Pendjara
• Menuju Republik Indonesia
• Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi
• Madilog
• Gerpolek
Jumat, 24 Juli 2009 siang, mantan Menteri/KSAU Omar Dhani meninggal dunia di RS Angkatan Udara, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, dalam usia 85 tahun. Untuk mengenang seorang Sukarnois sejati, saya kutip sebagian wawancara Omar Dhani dengan Tempo berikut ini.
Buku “Pergunakanlah Hati, Tangan dan Pikiranku: Pledoi Omar Dani” adalah satu dari sekitar seratus buku tentang G30S. Jelas buku ini penting karena ditulis oleh salah satu pelaku utama. Setelah dibungkam selama 29 tahun, baru kali ini bekas pucuk pimpinan Angkatan Udara itu bicara. Ia baru dibebaskan dari penjara Cipinang tahun 1995 — fotonya baru belakangan ini dipajang di Markas besar AU sebagai KSAU kedua.
Daned, begitu ia disapa, lahir di Solo pada 1924. Putra KRT Reksonegoro, Asisten Wedana Gondangwinangun, Klaten, menapaki karir penerbang pada akhir 1950 di Taloa, Amerika Serikat. Tahun 1956 ia bertugas belajar di Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris. Pulang dari Inggris, ia terlibat berbagai tugas, misalnya menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera. Dan belum genap 38 tahun, pada 19 Januari 1962, Omar Dani menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara menggantikan Laksamana Udara Surjadi Suryadarma. Peristiwa G-30-S seperti menjungkirbalikkan karirnya yang cemerlang, ia dituduh terlibat.
Dua hari setelah merayakan ulang tahun yang ke-77, bapak lima anak ini menerima tim redaksi TEMPO. Wawancara berlangsung di rumahnya, di kawasan Kebayoran Baru yang asri, ia didampingi oleh A. Andoko, bekas deputi Men/Pangau bidang logistik. Berikut petikannya:
Bisa Anda ceritakan situasi pada tanggal 30 September 1965?
Tanggal 30 September 1965, sore jam 16.00, laporan pertama masuk dari Letkol Udara Heru Atmodjo, Asisten Direktur Intel AURI, bahwa ada gerakan di lingkungan AD yang akan menjemput jendral AD untuk dihadapkan kepada Bung Karno. Itu reaksi dari para perwira muda AD yang tidak puas terhadap keadaan AD. Lalu saya minta dia untuk mengecek kebenarannya. Kemudian jam 20.00 malam dia datang lagi.
Apa yang disampaikan Heru Atmodjo?
Saya tanya jam berapa operasi akan dilakukan. Heru menjawab (operasi bisa terjadi) jam 23.00 (30 September), bisa 01.00 atau jam 04.00 (1 Oktober 1965). Kami heran, sudah kurang 24 jam kok (operasi) itu belum dipastikan jamnya. Kemudian ada yang menanyakan daftar yang akan diculik. Disebutkan, A. Yani, Nasution, DI Panjaitan dan seterusnya. Saya pribadi berpendapat, kalau orang hendak melakukan pemberontakan, pantasnya targetnya adalah jenderal yang memegang komando, misalnya, Yani (Menpangad), Soeharto (Pangkostrad), Sarwo Edie (Komandan RPKAD), Umar Wirahadikusumah (Pangdam Jaya). Lha Nasution kan nggak pegang komando. Saya pribadi tambah merasa aneh karena Nasution dan A. Yani dalam satu paket sasaran, padahal keduanya bertentangan terus.
Apa pertimbangan di balik keluarnya perintah harian Menpang/KSAU pada tanggal 1 Oktober 1965?
(Andoko menjawab pertanyaan ini: Ada tiga macam pengumuman waktu itu. Pertama surat perintah harian tadi, lalu kedua pada tanggal 2 Oktober 1965 jam 14.00, saya yang buat. Pada saat itu Menpangau berada di Lanud Iswahyudi, Madiun. Beliau juga membuat konsep kelanjutan dari pengumuman pertama. Kalau dibaca keduanya sama isinya: menolak adanya Dewan Revolusi. Omar Dani dari Madiun langsung kembali ke Bogor, ketemu Bung Karno, dan menunjukkan pengumuman itu. Tanggal 3 pagi dinihari baru diumumkan).
Saya membuat statement, isinya mendukung gerakan yang antirevolusioner, atas saran Heru Atmodjo. Katanya agar rakyat tahu. Kebodohan saya mungkin, karena saya kurang ngerti politik. Tahu-tahu paginya, sekitar jam 07.00 pada 1 Oktober 1965, ada siaran dari RRI tentang gerakan yang menamakan diri G-30 S. Dan tiba-tiba Presiden Sukarno mau pulang ke istana pun tak bisa. Yang menjaganya pasukan yang ditakuti, pasukan yang tak diketahui.
Kenapa Bapak membuat pernyataan seperti itu?
Karena semalam sebelumnya, intel AURI melaporkan bahwa malam itu ada gerakan dari perwira-perwira muda AD terhadap atasannya yang didukung seluruh bawahan dan sipil dari empat angkatan. Lho untuk apa? Ternyata akan menculik jenderal-jenderal.
Bagaimana awalnya Bung Karno berada di Halim hari itu?
Pagi itu saya sedang ada di Halim Perdanakusuma, tahu-tahu Letkol Soeparto, sopir dan ajudan BK menelpon saya. Dia menelepon dari rumah saya, Wisma Angkasa. Saya bertanya, Mas lha ini ada apa. Sudahlah nanti saya ceritakan, Bapak (Bung Karno) saya bawa ke Halim, jawabnya. Saya menawarkan diri untuk menjemput, dia bilang nggak usah. Saya nggak tahu kalau dia berada di Wisma Angkasa. Terus dia kembali ke BK, lalu BK pergi ke Halim. Jadi saya nggak minta BK datang ke Halim tetapi itu merupakan keputusan BK sendiri. Kemudian, karena BK hendak datang ke Halim, saya lantas mencoba menyetop pernyataan saya yang sudah terkirim ke Markas Besar AU. Begitu BK datang, di Halim kami mengobrol. Tak lama, datang Brigjen Soepardjo, datang sendiri menghadap BK. Lha, saya tahu Brigjen Soepardjo itu salah satu orang yang mengetahui dari gerakan dalam AD tersebut. Walaupun dia lain angkatan, dia itu anak buah saya di Komando Mandala Siaga.
Soeharto dikabarkan menolak menghadap BK pada 1-4 Oktober 1965?
(Terdiam sesaat) Kalau Harto dipanggil nggak datang itu bukan keanehan lagi. Itu artinya menentang atasan, apalagi atas perintah Panglima Tertinggi. Ini artinya subordinasi. Kalau dipanggil Pangti harus datang, apapun situasinya. Jawaban Harto waktu itu karena AD sudah kehilangan banyak jenderal, jadi dia nggak mau mengambil risiko lagi. Tetapi saya pikir tetap nggak boleh. Kalau A. Yani meninggal, katanya dia terus hendak mengambil alih Panglima AD juga, padahal tidak bisa dilakukan begitu saja.
Banyak analisa yang menyebutkan bahwa Soeharto terlibat dalam G-30 September?
Kilas baliknya lebih kentara lagi. Misalnya Komando Siaga Mandala, wadahnya Koti (Komando Tertinggi). Dalam hirarki kemiliteran, waktu A Yani dijadikan Menpangad, Nasution itu sebenarnya pingin menjadi Menhankam/Pangad. Tetapi saya tahu maksudnya dia ingin berkuasa di AD. Itu sudah saya lihat gelagatnya sedari 1945. Jadi kita tahu misalnya di AURI ada peristiwa-peristiwa pengganjalan. Peristiwa Soejono 1955 di Halim Perdanakusuma, Pak Suryadarma (Panglima AU pertama) diganjal terus ketika hendak dibentuk Wakil KSAU.
Para jenderal dikorbankan oleh siapa?
Dua orang. Soeharto dan Nasution. Itu sudah ada rekayasa. Kok tahu-tahu muncul istilah G-30S/PKI. Sejak kapan kok terus PKI disangkutkan? Buktinya apa? Heru Atmodjo, Soejono, nggak pernah menandatangani pernyataan Dewan Revolusi. Ketika Letkol Untung jadi saksi dalam persidangan Soepardjo, hakim menanyakan siapa yang memimpin aksi G-30S, Untung langsung menyahut: saya. Keanehan yang lain soal pengumuman Dewan Revolusi 1 Oktober, bahwa pangkat di atas Letnan Kolonel harus dicopot menjadi Letkol. Brigjen Soepardjo, waktu 1 Oktober 1965 pergi ke Halim menghadap BK, memakai pangkat Brigjen.
PKI dikorbankan juga?
Oh, iya. Gambaran seperti pesta-pesta di Lubang Buaya itu isapan jempol. Kalau memang ada rekamannya, mengapa nggak dibuat film khusus dokumenter dan diputar. Itu semua rekayasa. Saya mempertanyakan, mulai kapan kok ada istilah G-30-S diembeli dengan PKI ? Tanggal 1 Oktober 1965 petang, saya sudah mendapat informasi bahwa AD menguber PKI. Itu pun yang diuber bukannya massa, tapi pasukan 454 dari Jawa Tengah. Mereka pada jam 16.00 hendak masuk ke Halim tetapi ditutup oleh Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI yang dipimpim Pak Wisnu Djajengminardo. Bung Karno ada di Halim waktu itu.
Soal dokumen Gilchrist, sejauhmana otentitasnya?
Desas-desus Dewan Jenderal sudah lama kami mendengarnya. Tidak hanya itu, (juga soal) penilaian pers luar negeri (mengenai siapa) yang akan menjadi pengganti Bung Karno. Yang steady itu empat orang. Soebandrio, Chaerul Saleh, Nasution dan DN Aidit. Dewan Jenderal (terdengar) pertama kali ketika Yani menghadap Bung Karno dan ditanyai soal itu. Yani menjelaskan (Dewan Jendral itu) untuk kepangkatan. Waktu itu saya tidak mendengar langsung melainkan dari Pak Mulyono Herlambang yang mewakili saya. Jadi, saat pembahasan Gilchrist tersebut saya tidak ada di tempat.
Dalam buku Soebandrio yang tidak jadi beredar, ada soal trio Soeharto-Ali Moertopo-Yoga Soegama yang disebut Dokumen Gilchrist sebagai our local army friends. Bagaimana pendapat Anda?
Bahwa G-30-S itu suatu rekayasa, memang begitulah. Menurut saya CIA itu sangat terlibat, dan Harto adalah tangan yang dipakai. G-30 S itu bikinan Harto.
Anda loyalis Sukarno ya?
Oh, ya. Saya Sukarnois. Saya bukan komunis. Tetapi saya juga tidak antikomunis. Kenapa? Karena kalau saya anti komunis itu berarti saya bukan demokrat. Kalau ada PKI memberontak terhadap pemerintah, lha saya akan menghantamnya.
Apa kegiatan yang rutin tiap hari saat ini?
Ngobrol-ngobrol, baca-baca buku. Yang dulu-dulu saya baca tetapi belum sempat dibaca karena ditahan, sekarang saatnya. Misalnya Di Bawah Bendera Revolusi saya sudah punya satu set. Juga Indonesia Menggugat. Yang saya cari sekarang pidato Bung Karno di forum PBB. Saya tidak pernah membaca buku-bukunya Harto, pun buku Nasution. Karena saya sudah tahu dan bergaul dengan mereka. Saya tidak menilai orang dari apa yang dikatakan tetapi dari tindakan. Dari karakternya.
Profesor Peter Dale Scott (PDS) melalui paper-nya mengungkapkan campur tangan Amerika Serikat dalam pengulingan Presiden Soekarno dengan cara kotor dan berdarah tahun 1965-1967. Seluruh catatan dalam periode yang sulit dimengerti akan tetap berada di luar jangkauan analisis yang terlengkap sekalipun. Fakta sesungguhnya yang terjadi tidak terdokumentasi; dan sementara dokumentasi yang beredar ditemukan banyak kontroversial dan tidak teruji faktanya. Pembantaian pengikut Soekarno yang beraliran kiri (sosialis) merupakan hasil dari konspirasi politik yang meninggalkan ketakutan (paranoid atau phobia) yang meluas, dan menjadikan ini suatu tragedi yang melampaui dari tujuan suatu kelompok atau koalisi.
Dalam hal ini, Dale Scott tidak hanya memberi kesan bahwa provokasi dan kekerasan pada tahun 1965 hanya berasal dari militer Indonesia yang beraliran kanan yang telah bekerja sama dengan Amerika Serikat, bersama (termasuk penting, tapi jarang disebut/diuraikan) intelijen Inggris, Jerman dan Jepang. Namun dari keseluruhan papernya, Dale Scott menemukan peristiwa ini sebagai konspirasi yang rumit dan terselubung. Kompleksitas dan ambiguistias sejarah pembantaian berdarah Indonesia 1965-1967 yang sesungguhnya masih lebih sederhana dan mudah dipercaya oleh masyarakat daripada sejarah versi dari Presiden Soeharto dan Permerintahan Amerika Serikat.
Klaim mereka (versi Soeharto dan Pemeritahan Amerika) yang masih bermasalah itu menjelaskan bahwa pada 30 September 1965, sebuah gerakan yang disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) melakukan kudeta (pembunuhan 6 jenderal militer), merupakan gerakan penyerangan “kiri” terhadap “kanan”, lalu memberi legalitas restorasi kekuasaan yang diikuti oleh usaha pembantaian golongan kiri oleh golongan tengah. Dalam skenario ini, Soeharto menempatkan dirinya sebagai sosok golongan “tengah” (padahal Soeharto dan AH Nasution merupakan sosok kanan, sementara Jenderal Ahmad Yani merupakan sosok tengah) atau istilah yang digunakan politikus era saat ini adalah “politik jalan tengah”. Ini semata-mata hanya menjadi “kendaraan” simpatik sekaligus pengelabuan kepada rakyat yang mana sesungguhnya mereka sedang berkonspirasi dengan kekuataan asing yakni Amerika Serikat cs atau lebih tepatnya “golongan kanan yang tulen”.
**************
Dengan berusaha menelusuri data-data Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) khususnya bukti yang mendiskreditkan tesis anti-PKI, Dale Scott melalui penelusuran dokumen Coen Holtazappel “The 30 September Movement“, maka didapatkan suatu kesimpulan bahwa gerakan 30 September 1965 merupakan gerakan konspirasi yang berpura-pura melakukan kudeta, padahal yang melakukan sekaligus merancang konpirasi ini adalah golongan kanan “tulen” Angkatan Darat dengan maksud untuk menghabisi golongan tengah militer terlebih dahulu.
Golongan kanan tulen ini adalah Soeharto dan AH Nasution yang anti-komunis (terlibat dalam hal ini adalah Sarwo Edhi). Sedangkan golongan tengah militer adalah mereka yang loyal tapi kritis terhadap Soekarno dan Pancasila, yang tidak bersekutu dengan PKI ataupun Amerika. Mereka adalah 6 Jenderal yang dibunuh. Dengan kudeta “pura-pura”, setelah golongan tengah Angkatan Darat dihabisi, maka golongan kanan dengan mudah merintis pembersihan golongan kiri (termasuk rakyat sipil) dengan slogan dan provokasi. Habisnya golongan tengah dan sipil kiri merupakan rencana langkah-langkah yang harus diambil demi mengukuhkan serta membentuk pemerintahan militer diktator. [catatan: ini juga terjadi di negara Chile yang mana Jenderal Pinochet bertindak seperti Soeharto].
Dalam paper Dale Scott, ia berkesimpulan bahwa dalam konspirasi “Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno, 1965-1967″ ditemukan tiga tahapan besar yakni:
1. Gestapu- 30 September 1965 : merupakan “kudeta” yang dilakukan oleh sayap kiri “gadungan”
2. KAP-Gestapu : yakni gerakan anti Gestapu dengan membantai PKI beserta ratusan ribu orang simpatisan PKI sebagai the dead of socialism.
3. Pendegradasian Pengaruh dan Kekuasaan Soekarno : secara terus menerus hingga tidak bersisa, hingga rakyat tidak diperbolehkan belajar atau mengikuti ajaran Bung Karno.
Pemaparan Dale Scott hanya membahas dua dari tiga phasa besar ini yakni phasa KAP-Gestapu dan Pendegradasian pengaruh dan kekuasaan Soeharto. Sedangkan phasa pertama, menurut penulis istilah kudeta pada tahap pertama bersifat fiktif, karena tidak adanya bukti-bukti pengambilalihan kekuasaan pada tahap ini oleh PKI. Buktinya Presiden Soekarno tidak digulingkan pada 30 September – 1 Oktober 1965 oleh PKI. Justru, Presiden Soekarno digulingkan oleh Soeharto cs setelah Gestapu-30 September dalam rangkaian “3 tahapan konspirasi”.
3 Tahapan Besar Penggulingan Soekarno
Ratusan orang dieksekusi secara massal
Sebelum membahas keterlibatan Amerika Serikat yang oleh CIA sendiri menyebut peristiwa 1965 sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk sepanjang abad 20″, marilah kita flash back kembali masalah-masalah apa saja yang menghantar terjadinya pembunuhan massal terburuk ini.
Menurut Harold Crouch, menjelang tahun 1965, staf umum Angkatan Darat (AD) Indonesia pecah menjadi dua kubu. Jauh sebelumnya, para jenderal tersebut (baik tengah maupun kanan) adalah anti-PKI, namun menjelang 1965 para jenderal ini pecah menjadi dua kubu pasca memburuknya kondisi kesehatan Soekarno (yang mana Soekarno jatuh pingsan). Kedua kubu tersebut adalah:
1. Kubu Tengah AD Indonesia
Kubu tengah adalah kelompok yang tetap loyal pada Soekarno, namun disisi lain mereka menentang kebijakan Soekarno tentang Persatuan Nasional (Nasakom) dimana PKI masuk dalam kekuatan nasional tersebut.
Kubu tengah dipimpin oleh Jenderal Ahmad Yani dan diikuti kawan-kawannya.
2. Kubu Kanan AD Indonesia
Kubu kanan merupakan mereka yang menentang kebijakan Soekarno maupun Ahmad Yani yang tetap loyal pada Bung Karno. Kubu ini dipimpin oleh AH Nasution dan Soeharto yang anggotanya diantaranya adalah Basuki Rachmat dan Sudirman dari Seskoad.
Kisah penggulingan Soekarno yang sederhana (dan belum terungkap secara menyeluruh) adalah ketika musim “gugur” (September) 1965, Ahmad Yani beserta kelompok intinya dibunuh, hal yang kemudian menjadi jalan “legal” bagi upaya merebut kekuasaan oleh kekuatan-kekuatan anti-Yani (dan yang pasti juga adalah anti Soekarno yang melindungi PKI) dari kubu sayap kanan yang berafiliasi dengan Soeharto. Kunci perebutan kekuasaan ini adalah apa yang dinamakan “coup” (kudeta) 30 September, yang berdalih bahwa menyelamatkan Soekarno, namun sesungguhnya target utama “kudeta” tersebut adalah membunuh para jenderal besar AD yang paling loyal terhadap Soekarno yakni kelompok Ahmad Yani.
Hal ini dapat ditelusuri dari pertemuan AD yang berlangsung pada bulan Januari 1965 yang dihadiri oleh petinggi AD termasuk didalamnya adalah A Yani dan tidak terkecuali Soeharto. Pada pertemuan tersebut, ada sekelompok petinggi AD yang kecewa (tidak senang) dengan Ahmad Yani dan pendukungnya. Dan pertemuan Januari 1965 menjadi petaka para jenderal yang loyal terhadap Soekarno.
Sebagai informasi, pada pertemuan Januari 1965, terdapat wacana untuk merebut kekuasaan ketika kondisi Presiden Soekarno memburuk untuk mencegah jatuhnya kekuasaan pada kelompok PKI. Namun rencana kudeta ini ditolak oleh Ahmad Yani. Pendapat A Yani didukung oleh empat orang petinggi AD lain yang masuk dalam kubu Yani. A Yani bersama 4 jenderal lain yang mendukung pendapat Yani pada pertemuan Januari 1965 dibunuh pada 1 Oktober 1965. Sebaliknya, mereka yang termasuk dalam kelompok Anti-Yani, justru bebas dari “kudeta” 30 September 1965. Dari kelompok yang anti Yani pada pertemuan Januari 1965, setidaknya 3 orang diantaranya yakni Soeharto, Basuki Rachmat dan Sudirman dari Seskoad menjadi tokoh utama yang menumpas “golongan kiri” dan golongan A Yani yang loyal pada Soekarno.
Tidak seorang Jenderal yang anti Soekarno pun yang menjadi target “kudeta 30S“, dengan satu pengecualian yakni Jenderal AH Nasution. Namun perlu dicatat bahwa AH Nasution “dapat” bebas dari pembunuhan disisi lain anaknya Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu Pierre Tendean yang dibunuh. AH Nasution berhasil melarikan diri tanpa mengalami luka berat, dan kemudian mendukung gerakan pembasmian PKI dan ideologi Soekarno pasca 30S.
Menjelang tahun 1961, CIA dikecewakan oleh AH Nasution yang semula dianggap sebagai “aset/orang” yang handal, namun kemudian dalam beberapa catatan ternyata AH Nasution tetap taat kepada Soekarno dalam berbagai kebijakan penting. Dan menjelang tahun 1965, kekecewaan ini sangat terasa bagi pihak yang mengoposisi AH Nasution, setelah bukti keterlibatan Amerika Serikat dalam perpecahan Vietnam. Lalu bagaimana track record hubungan Soeharto vs Nasution sampai-sampai AH Nasution sempat menjadi sasaran target “kudeta Gestapu”?
Pada tahun 1959, AH Nasution memeriksa kasus dugaan tindakan korupsi yang dilakukan Soeharto. Karena kasus ini, Soeharto diberi sanksi dengan memindahtugaskan Soeharto sebagai Panglima Diponegoro. Akibat kejadian 1959, hubungan Soerharot dan AH Nasution cukup “dingin”. [Crouch, The Army, p. 40; Brian May, The Indonesian Tragedy (London: Routledge and Kegan Paul, 1978), pp. 221-2.]
**************
Pernyataan Distorsi : Skenario Membalikkan Fakta Sudah Direncankan Sejak Awal
Salah satu hal yang paling tidak manusiawi adalah mereka yang berusaha mendistorsi fakta realitas dengan mengkambinghitamkan suatu kejadian serta menggiring opini publik ditengah keruhnya suasana. Suka mempolitisir suatu peristiwa dengan alasan yang tidak korelatif. Misalnya kasus Bom Ritz Carlton.
Sejak awal pasca pembunuhan 6 Jenderal besar yang loyal terhadap Soekarno, telah beredar pernyataan-pernyataan yang berusaha mendistorsi dengan realitas. Pernyataan Letkol Untung mengenai “Gestapu”, begitu juga distorsi ini oleh Soeharto dengan menginstruksikan pembasmian kelompok sosialis. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung mengumumkan kepada publik bahwa pada hari ini (1 Oktober 1065), Soekarno dilindungi (tawan) oleh kelompok Gestapu (PKI). Padahal pada tanggal 1 Oktober 1965, Soekarno tidak di”lindungi” oleh PKI. Ini sudah pernyataan yang didistorsi.
Belum sampai disana, pada persidangannya Letkol Untung juga mengatakan bahwa para jenderal (yang tewas dalam konspirasi Gestapu) dengan dukungan CIA merencanakan kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965, karena telah disiagakannya pasukan militer dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Barat ke Jakarta. Padahal sesungguhnya, pasukan-pasukan militer tersebut disiapkan di Jakarta untuk parade hari ABRI 5 Oktober 1965.
Untung sengaja tidak mengatakan hal yang sesungguhnya, padaha ia masuk dalam panitia persiapan peringatan hari ABRI tersebut. Dan lebih dashyatnya, padahal dia sendiri yang telah mengambil bagian dalam memilih kesatuan-kesatuan pasukan untuk parade hari ABRI tersebut. Untung juga tidak mengatakan bahwa kesatuan-kesatuan yang terpilih itu (termasuk bekas Batalion-nya yakni Batalyon 454/Banteng Raiders) telah menyediakan sekutu-sekutu untuk melakukan pembunuhan para Jenderal. Lalu, Letkol Untung dieksekusi mati dengan fakta persidangan yang absurd.
Namun ada catatan yang sering terlupakan dalam sejarah bahwa Letkol Untung (Pasukan Tjakrabirawa) yang melakukan “kudeta gadungan” memiliki hubungan khusus dengan Soeharto. Untung adalah anak buah Soeharto, dan Soeharto bersama Tien Soeharto pada tahun 1965 melakukan perjalanan panjang untuk sekadar menghadiri pernikahan Untung di Kebumen dari Jakarta. Lalu, mengapa Untung begitu bodoh melakukan kudeta yang kemudian Soeharto pula yang menghabisi nyawanya?
Bagaimana distorsi Soeharto?
Sesaat penculikan dan pembunuhan para Jenderal yang loyal terhadap Soekarno, tanpa bukti jelas Soeharto menuduh PKI + Angkatan Udara RI (AURI) melakukan pembunuhan enam jenderal. Lalu mengkambinghitamkan sekaligus memvonis hukuman mati (namun pada akhirnya dipenjara 29 tahun) Marsekal Madya Omar Dhani pada Desember 1966 (Almarhum meninggal pada 24 Juli 2009 silam) yang loyal terhadap Soekarno [wawancaranya bisa dibaca di sini]. Alasan Soaharto menghubungkan Omar Dhani dalam peristiwa Gestapu hanya karena lokasi mayat-mayat para jenderal ditemukan di Lubang Buaya di dekat Bandara Halim Perdana Kusuma. Disamping itu, Soeharto menghubungkan Omar Dhani karena para Gerwani melakukan latihandi kawasan dekat Halim Perdana Kusuma.
Padahal, pada saat itu, sesungguhnya Soeharto mengerti betul bahwa pembunuhan para jenderal itu dilakukan oleh unsur-unsur AD yang ditunjuk oleh Letkol Untung (sahabat dekat Soeharto sendiri). Untung pernah ditempatkan sebagai prajurit di bawah komando Soeharto. Fakta ini semakin jelas dari pernytaan Soeharto sendiri, “Dalam perjalan saya ke Mabes Kostrad (markasnya Soeharto), saya berpapasan dengan prajurit Baret Hijau (Pasukan Untung) yang telah ditempatkan dibawah Komando Kostrad (komando Soeharto), namun mereka tidak memberi hormat pada saya”.
Catatan: Batalyon Infanteri (Yonif) 454/Banteng Raiders yang menjadi pasukan pendukung Untung dalam Gestapu sesungguhnya merupakan pasukan Raiders yang dilatih dengan bantuan dana dari Amerika Serikat. Dari korelasi ini, sangatlah mungkin pasukan Raiders (Untung) – Amerika – Soeharto menjadi satu kesatuan dalam konspirasi ini.
Lanjutan Seri -2 : Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno, 1965-1967 (2)
Tulisan ini saya ambil dari cuplikan paper dari Prof Peter Dale Scott dengan judul The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Tulisan tersebut merupakan investigasi mendalam dari berbagai sumber yang disusun bertahun-tahun dan pertama kali di publikasikan pada Desember 1984. Peter Dale Scott adalah profesor di Universitas California di Berkeley dan juga anggota Dewan Penasehat “Public Informatioan Research”.
Dalam rangka memperingati HUT RI 1945-2009
Salam Nusantaraku, 30 Juli 2009
ech-wan
Disadur dari Intisari :
Peter Dale Scott : The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967
Sinar Harapan
30/9/2002
Semenjak kemerdekaan, Indonesia sudah menjadi ladang operasi intelejen dari berbagai negara. Jaringan yang cukup berpengaruh adalah M-16 dari Inggris dan CIA dari AS di samping intelejen RRC dan KGB-nya Uni Soviet. Semua jaringan intelejen ini bekerja di bidang pengawasan, pengaruh, pengarahan operasi, sampai pengambilalihan kekuasaan di tahun 1965 dari Presiden Soekarno oleh Soeharto yang dilandasi dengan satu kepentingan yang pembuktiannya hanya bisa dilihat dalam kelanjutan setelah kudeta 1965.
Kelanjutannya adalah pembantaian massal, pelarangan ideologi komunis,soekarnois dan PKI, dan semua partai maupun organisasi masyarakat yang dekat dengan Soekarno. Bagaimanapun, kejatuhan Soekarno dari kepemimpinan nasional sebagai presiden pertama RI tetap merupakan misteri sejarah. Namun, rentetan peristiwa setelah kejatuhan Soekarno membuktikan peristiwa tersebut terencana sangat matang dan canggih.
Sebuah dokumen operasi Intelejen CIA 1964 – 1966 yang lengkap dari Amerika Serikat telah dibuka pada publik internasional. Dokumen tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan sebagai salah satu bahan untuk meluruskan sejarah yang selama ini terdistorsi kepentingan Orde Baru.
Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno memainkan peranan penting dalam kancah perang dingin antara blok Barat yang dipimpin AS dan blok Timur yang terdiri dari negara-negara sosialis. Kepemimpinan Indonesia terlihat dalam menggalang kekuatan internasional dalam Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok maupun NEFO (New Emerging Forces) sebagai garis politiknya untuk menghadapi imperialisme dengan OLDEFO.
Dokumen CIA yang sebelumnya merupakan dokumen rahasia yang berisi sejumlah informasi penting seputar peristiwa tersebut kini telah terbuka untuk publik. Penerbit Hasta Mitra yang dipimpin Joesoef Isak dan selama ini dikenal sebagai penerbit karya-karya Pramudya Ananta Toer, menerbitkan terjemahaan dokumen CIA itu dalam sebuah buku yang berjudul Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S-1965.
Mengomentari buku ini, Letjen (purn) Agus Widjojo mengatakan kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa ia merupakan dokumen otentik yang menggambarkan kepentingan negara adidaya dalam situasi Perang Dingin. “Pada masa itu ideologi adalah panglima, sehingga dinamikanya antara Barat dan Timur. Namun, faktor intern dalam negerilah yang menentukan terjadinya peristiwa 1965,” ujar putra almarhum Jenderal Soetojo, yang menjadi salah seorang korban peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Agus menegaskan secara umum teori pertentangan antara sipil yang dipimpin Soekarno dan PKI berhadapan dengan sebagian TNI-AD adalah faktor internal yang menjadi titik lemah bagi masuknya kepentingan konflik perang dingin, dalam hal ini Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina, yang bukan kebetulan dimenangkan oleh Amerika yang mewakili Barat.
Karena itu, Agus Widjojo mengingatkan, bila kita bercermin pada kejadian tahun 1965 itu, dalam situasi krisis multidimensi dan ancaman disintergrasi yang dialami oleh bangsa Indonesia pada saat ini, pilihannya hanyalah melakukan konsolidasi dalam satu rekonsiliasi yang pasti, atau hancur berkeping-keping dalam perang saudara dan intervensi asing di bidang ekonomi maupun politik
Keterlibatan Rusia dan RRC
Mengomentari buku yang akan diluncurkan itu, mantan aktivis angkatan 66 dan Forum Demokrasi, Rahman Toleng, berharap agar jangan cuma keterlibatan CIA saja yang dilihat pada waktu persitiwa 1965 tersebut. Dia juga mengindikasikan keterlibatan agen-agen RRC dan Rusia di belakang peristiwa tersebut.
Mantan Wakil Ketua MPRS, pada tahun 1966, Mayjen (Pur) Abdul Kadir Besar, mengingatkan faktor di dalam negeri juga berperan seperti pernyataan Anwar Sanusi (anggota CC PKI/Anggota Front Nasional) sebelum peristiwa 30 September 1965, bahwa ibu pertiwi sedang hamil tua. “Itu merupakan sebuah tanda akan terjadi kejadian besar tersebut. Oleh karena itu, data-data dari dalam negeri pun juga harus dijadikan pembanding dokumen CIA tersebut,” ujarnya.
Dalam pandangan Abdul Kadir, PKI punya rencana 4 tahunan dalam demokrasi parlementer-terpimpin ala Soekarno yang yakin akan menang dalam Pemilu.
Namun karena peringatan dokter-dokter Cina tentang gawatnya penyakit Soekarno, PKI khawatir TNI AD akan mendahului merebut kekuasaan. “Oleh karenanya, PKI mendahului dengan G30S-nya,” jelasnya.
Dokumen Gilchrist
Untuk membaca dokumen CIA ini mungkin dibutuhkan satu latar belakang historis. Seorang purnawirawan perwira tinggi TNI-AD berusaha mendudukkan alur secara kronologis.
Dalam pandangannya, peristiwa 1965 dipicu oleh sebuah dokumen yang bernama Dokumen Gilchrist. Gilchrist—duta besar Inggris pada waktu itu—sebagai pelaksana operasi intelejen Inggris dan AS, mengeluarkan dokumen yang berisikan situasi palsu tentang konsolidasi TNI-AD, yang disebutnya sebagai Dewan Jenderal.
Dokumen ini yang dibawa oleh Chaerul Saleh, tokoh Partai Murba ke Soekarno, Subandrio, dan akhirnya Adit. Dalam sebuah pesta sebelumnya di Eropa, Gilchrist pernah berkata bahwa satu kali tembakan akan mengubah Indonesia.
Belakangan baru terungkap, sekretaris dubes Inggris-lah yang mempersiapkan skenario operasi anti-PKI dengan isu amoral, asusila, dan anti-agama yang kemudian dilansir ke sejumlah koran Ibu Kota seperti Merdeka, Berita Yudha, dan Angkatan Bersenjata. Hal ini terungkap karena ada satu dokumen telegram kampanye dengan isu tersebut ke redaksi Merdeka.
Menurut sumber itu, menanggapi situasi yang digambarkan Dokumen Gilchrist, Soekarno memerintahkan untuk segera mengatasi persoalan ini. Kolonel Soeparjo dan Kolonel Mursid kemungkinan menolak yang kemudian jatuh ke Letkol Untung sebagai pelaksana G30S.
Kalau benar DN Aidit ingin melakukan revolusi dari atas, langkah itu keliru karena dia tidak melibatkan jajaran TNI yang berpihak ke PKI, dan harus diingat Letkol Untung ternyata bukan dari kalangan tersebut.
Operasi Pembasmian
Ada hal menarik dalam buku itu, seperti daftar nama 500-an pemimpin PKI yang dikeluarkan oleh CIA dan disampaikan lewat Adam Malik ke TNI-AD yang berbobot perintah operasi pembasmian secara cepat agar PKI benar-benar lumpuh rantai komandonya. Hanya dengan operasi cepat inilah AS percaya dapat melumpuhkan PKI dan dapat menaikkan moral TNI-AD untuk melawan Soekarno dan PKI.
Hanya sedikit perwira yang memiliki keberanian dan pengalaman melawan Soekarno, yaitu mereka yang terlibat di PRRI dan Permesta semacam Zulkifli Lubis, Vence Sumual, Kawilarang, dan tentu saja Kemal Idris.
Aktivis buruh Dita Indah Sari mengomentari bahwa dokumen-dokumen dalam buku ini memang membuktikan pendanaan dari pemerintah AS yang dijalankan oleh CIA adalah untuk operasi penggulingan Soekarno. Hal ini didahului oleh tindakan mata-mata terhadap semua kegiatan dan keputusan Soekarno, terutama sehubungan dengan konfrontasi dengan Malaysia dan pengiriman relawan ke Malaysia.
Hal-hal itu terungkap dalam semua dokumen percakapan telepon, telegram, maupun surat rahasia pejabat-pejabat AS baik di Amerika maupun di Indonesia seperti: Lindon Johnson (Presiden AS), Dean Rusk (Menteri Luar Negeri), Mc Namara (Menteri Pertahanan), Howard Jones (Dubes AS di Indonesia), V. Forrestal (Staf Dewan Keamanan Nasional), Mc George Bundy (Assisten Khusus Presiden Urusan Keamanan).
Seperti yang tertuang dalam halaman 156-158: Memorandum dipersiapkan CIA untuk State Department (dari Colby untuk Bundy) 18 September 1964 tentang prospek untuk aksi tersembunyi …di antara mereka beberapa telah menunjukkan kemampuan melakukan kegiatan politik tersembunyi meskipun terbatas namun efektif. Lebih jauh ada terdapat sejumlah pendekatan ke kedutaan dan komponen misi lainnya oleh individu-individu—beberapa untuk kepenitngan diri sendiri, yang lain adalah untuk mencari bantuan agar mereka mampu melawan komunisme di Indonesia…untuk itu kami mengajukan sebuah program aksi tersembungi yang intensif, terbatas pada tujuan awalnya, tapi dirancang untuk ekspansi jika situasi mengijinkan.
Konteks Perang Dingin
Mengenai pengungkapan berbagai dokumen itu, James D. Vilgo, seorang pensiunan Letnan Kolonel AS, menegaskan bahwa dokumen tersebut harus ditempatkan pada konteksnya, yaitu masa Perang Dingin, di mana intelejen AS memang bekerja secara ofensif. “Situasi politik sekarang sudah berbeda, Kongres dan Senat AS justru mengontrol semua kegiatan militer dan intelejen AS, agar tidak bekerja terlalu jauh. Dokumen ini adalah salah satu bukti kontrol yang membuka semua operasi intelejen AS, sama seperti dokumen yang bersangkutan dengan Indocina, Chili, dan ope-rasi di berbagai tempat lainnya. Justru transparansi ini seharusnya diikuti oleh Indonesia yang sedang dalam masa transisi sekarang,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa data-data dari AS ini seharusnya dilengkapi dengan data-data dokumen yang dikeluarkan oleh pihak Indonesia sendiri agar masyarakat tahu sebenarnya apa yang terjadi dan menjadi pelajaran agar tidakterulang lagi.
Dalam era reformasi sekarang ini, ujarnya, yang terpenting adalah sebuah usaha untuk mengubah paradigma, terutama dalam pendidikan sejarah yang harus seobjektif mungkin. Sebuah komite penyelidikan dapat dibentuk oleh sipil dan melibatkan intelektual dalam dan luar negeri untuk memberikan masukan pada MPR/DPR, sehingga punya kekuatan seperti Kongres dan Senat AS.
Dalam pandangannya, soal keterlibatan AS, tidak bisa dilihat secara sepihak karena sebenarnya yang berpengaruh adalah situasi dalam negeri pada waktu itulah yang mengkhawatirkan AS. Posisi AS adalah peninjau yang terlibat kemudian.
Cuci Tangan
Namun Dr. Salim Said, menegaskan bahwa penerjemahan dan penerbitan buku ini jangan menjadi ajang cuci tangan PKI terhadap peristiwa 1965. Memang Amerika terlibat, tapi aspek-aspek lain juga di luar Amerika harus diperhitungkan, jelas buku ini diterbitkan oleh Hasta Mitra supaya menjernihkan persoalan terutama, soal keterlibatan AS, jangan malahan menjadikannya semakin kabur.
Joesoef Isak sendiri menegaskan dalam pengantarnya bahwa penerbitan buku ini sama sekali tidak bermaksud membangkitkan kemarahan rakyat Indonesia kepada dunia Barat.
“Kita sepenuhnya sadar bahwa juga di dunia barat maupun di Amerika terdapat cukup banyak unsur-unsur The New Emerging Forces dalam semua tingkatan kehidupan mereka yang sama-sama mendambakan persahabatan dan perdamaian di dunia ini. Sebaliknya kita juga sadar, bahwa kekuatan besar The Old Established Forces masih kuat bercokol dan mengacau rumah tangga kita sendiri,” ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa itulah sebabnya globalisasi ekonomi-politik dan globalisasi intelejen yang berwatak destruktif bagi kemanusiaan, keadilan yang beradab, dan perdamaian bumi manusia, mutlak juga harus dihadapi dengan kerja sama dan penggalangan globalisasi solidaritas The New Emerging Forces sedunia. (SH/web warouw)
Paper singkat Peter Dale Scott, Profesor dari Universitas California, Barkeley ini membahas bagaimana keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam upaya penggulingan Soekarno (Bung Karno) secara kotor dan berdarah. Tulisan ini begitu penting karena sejarah seputar peristiwa “Gerakan 30 September” (Gestapu) banyak yang disembunyikan, dihilangkan dan diputarbalikkan oleh rezim Orde Baru. Pembantaian terhadap sekutu-sekutu Bung Karno (BK) yang beraliran kiri merupakan hasil konspirasi CIA-Soeharto dibantu intelijen Inggris, Jepang dan Jerman.
Namun, Soeharto dan klannya berdalih, Gestapu adalah penyerangan golongan kiri (menuduh PKI) ke kanan (Jenderal Ahmad Yani cs), yang membawa restorasi kekuasaan dan kemudian pembersihan golongan kiri sebagai hukuman oleh golongan tengah (Soeharto mengklaim posisinya di sini). Padahal, menurut Scott dengan pura-pura melakukan Gestapu, golongan kanan (Soeharto cs) dalam Angkatan Darat (AD) Indonesia melenyapkan golongan tengah (Yani cs yang walaupun kritis tapi tetap loyal ke BK). Dengan kata lain, Gestapu hanyalah merupakan tahap pertama dari tiga tahap yang dibantu secara rahasia oleh juru bicara dan pejabat AS; yakni tahap 1: Gestapu “coup” sayap kiri gadungan (Letkol Untung cs). Kedua, KAF Gestapu; yakni tindakan balasan dengan membunuh PKI secara massal, dan 3: pengikisan pendukung BK secara massif dan progresif.
Ringkasan ini akan saya buat dalam tiga kerangka besar, yakni alasan/motivasi CIA menjatuhkan BK, bagaimana cara CIA dalam mewujudkan keinginan tersebut dan bukti-buktinya. Satu alasan terkuat BK harus disingkirkan oleh CIA karena BK bersahabat dekat dengan blok Cina dan Sovyet. Sejak 1953, AS berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis di Indonesia, yang diakui sebagai “penyebab langsung” yang merangsang BK mengakhiri sistem parlementer Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer, serta memasukkan “korp perwira” secara resmi dalam kehidupan politik (14 Maret 1957); sebuah blunder politik BK.
Sedangkan langkah-langkah yang dilakukan CIA untuk mewujudkan ambisinya tersebut yakni dengan menggandeng faksi militer kanan –seperti Soeharto, Walandouw, Suwarto, Sarwo Edhie, Kemal Idris, Ibnu Sutowo, Basuki Rahmat, Djuhartono, dll- dan partai berhaluan kanan (Masyumi dan PSI) untuk semakin mengecilkan pengaruh BK. Skenario CIA tersebut saya bagi dalam enam point. Pertama, CIA mendukung terjadinya pemberontakan/perlawanan terhadap BK. Seperti bantuan senjata dan personil oleh CIA dengan mendukung pemberontakan PRRI/Permesta (Kol. Walandouw) di Sumatera Barat untuk melawan BK –tetapi dapat ditumpas (1957-1958). Kemudian peristiwa Lubis (1956) dengan tokohnya Suwarto dan Kemal Idris serta PSI.
Kedua, Program Civic Mission. Setelah dirasa gagal dengan serangkaian perlawanan,1 Agustus 1958 AS memberikan bantuan militer ke Indonesia mencapai $ 20 juta setahun. Kontrol (baca: mengendalikan) terhadap AD ini dianggap penting, karena AS menganggap hanya AD yang mampu mengimbangi kekuatan PKI.
Lalu didirikanlah SESKOAD tahun 1958 di Bandung yang mendapatkan dukungan penuh dari Pentagon, RAND dan Ford Foundation. Jenderal Suwarto yang pernah dididik di AS yang bisa memainkan peran penting dalam mengubah AD dari fungsi revolusioner menjadi kontra revolusi ditunjuk sebagai penanggung jawab sekolah tersebut. Di bawah Nasution dan Suwarto, SESKOAD mengembangkan suatu doktrin strategis baru yakni doktrin Perang Wilayah, yang memberi prioritas kepada kontra pemberontakan sebagai peranan AD. Soeharto masuk SESKOAD dengan pangkat Kolonel (Oktober 1959) dan menjadi siswa yang sangat “berbakat”. Terbukti, dia dilibatkan dalam penyusunan doktrin perang wilayah serta dalam kebijaksanaan AD mengenai Civic Mission/Civic Action.
Di SESKOAD, perwira AD -dan sipil yang pro PSI- juga diajari bidang ekonomi dan administrasi kepemerintahan sehingga AD mulai bisa bekerjasama dan bahkan berani menandatangani kontrak-kontrak dengan perusahaan AS serta negara asing lainnya di luar kesepakatan rezim BK.
Pada tahun 1962, Kemlu AS dibantu CIA mendirikan MILTAC (Military Training Advisory Group=Kelompok Penasehat Latihan Militer) di Jakarta untuk memberikan bantuan dalam melaksanakan program Civic Mission SESKOAD. Program ini sebenarnya merupakan penyusupan perwira AD ke dalam semua bidang kegiatan pemerintah dan tugas-tugas kepemerintahan. Terbukti, huru-hara anti Cina diilhami AD terjadi di Jawa Barat tahun 1959 dengan Kolonel Kosasih yang membiayai komplotan bajingan-bajingan setempat dengan tujuan merusak hubungan Indonesia dengan Cina. Kemudian disusul huru-hara mahasiswa bulan Mei 1963 dan diulangi Januari 1966 di Bandung dan Oktober 1965 di Jakarta.
Ketiga, adanya konflik internal di tubuh AD. Menurut Harold Crouch, menjelang 1965 AD pecah menjadi dua; kelompok tengah yakni Yani cs yang bersikap menentang BK tentang persatuan nasional karena PKI masuk di dalamnya. Kubu kedua, AD kelompok kanan yakni Nasution dan Soeharto (Basuki Rahmat, Sudirman dari SESKOAD dkk) yang bersikap menentang kebijaksanaan Yani yang bernafaskan Soekarnoisme (karena tidak setuju merebut kekuasaan BK).
Adanya konflik para Pati AD tersebut terindikasi dengan: Pertama, Januari 1965, Soeharto mengadakan rapat penyatuan sikap kelompok AD dengan mendesak Nasution supaya mengambil sikap yang lebih menyesuaikan diri terhadap BK. Kedua, April 1965 diadakan seminar di SESKOAD untuk mengusahakan satu doktrin strategis yang bersifat kompromis yaitu Tri Ubaya Sakti yang menegaskan kembali tuntutan untuk memiliki peranan politik yang berdikari bebas.
Keempat, Program AS berkedok bantuan. Proses menjatuhkan BK juga bisa dipahami dari bantuan AS ke Indonesia di tahun 1963-1965, melalui saluran “komisi-komisi penjualan” atau sumbangan finansial untuk mendukung kepentingan politik Soeharto. Misalnya bantuan lunak AS tetap ada yang ditujukan ke AD dan Brimob-Polisi untuk adu-kekuatan dengan PKI yang sedang jayanya. Juga bantuan 200 pesawat Aero-Commanders kepada AD -bukan AU (Juli 1965), dimana komisi keagenan penjualan tersebut dipegang Bob Hasan, sahabat Soeharto. Keduanya sudah berkawan sejak Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro. Secara khusus keduanya juga telah mendirikan dua buah perusahaan pelayaran yang harus dioperasikan Divisi Diponegoro. Menjadi unik ketika bantuan beralih dari bantuan AS terhadap Indonesia (sebagai Negara) berubah menjadi bantuan untuk membiayai salah satu komponen negara yang tidak loyal pada bangsanya sendiri.
Namun saat Lyndon Johnson jadi presiden AS, tepatnya Desember 1964, bantuan AS tersebut dihentikan. Hal ini mengindikasikan AS turut sengaja ambil bagian aktif untuk menggoyahkan ekonomi Indonesia dalam minggu-minggu menjelang Gestapu, ketika harga beras naik 4x dan harga dollar membumbung tinggi.
Pada tahun fiskal 1965, New York Times menyatakan “semua bantuan AS kepada Indonesia telah dihentikan, maka jumlah personil MAP (Military Assistance Program) di Jakarta dalam kenyataannya justru telah meningkat mencapai taraf yang jauh melebihi daripada yang telah diproyeksikan”.
Tabel di atas menunjukkan bahwa program Civic Action ditingkatkan.
Kelima, terjadinya peristiwa 1965 dan peranan Soeharto. Menjelang Agustus 1964, Soeharto mulai mengadakan kontak politik dengan Malaysia, Jepang, Inggris dan AS. Menurut Mrazek, kontak Soeharto itu merupakan penjajagan untuk berdamai dengan menarik pasukan AD Indonesia yg terbaik (yang anti komunis) ke Jawa dengan sebelumnya mengirim satu batalyon Diponegoro (yang telah disusupi PKI) ke Malaysia yang bisa dipahami sebagai persiapan-persiapan untuk merebut kekuasaan pemerintahan.
30 September, 6 jenderal (Yani, Suprapto, Sutoyo, S. Parman, MT. Haryono, DI Panjaitan), 1 pamen (Tendean), 1 pama (KS Tubun) tewas oleh gerakan Letkol Untung cs. Uniknya, tak seorangpun jenderal anti BK yang menjadi sasaran Gestapu, kecuali Nasution yang bersifat problematik; yakni menjelang 1961, CIA kecewa karena Nasution yang diproyeksikan menyingkirkan BK justru berbalik mendukung BK, dan dia mengkritik keterlibatan USA dalam Perang Vietnam. Sikap Soeharto dengan Nasution juga dingin karena kasus pemeriksaan Nasution terhadap korupsinya Soeharto pada tahun 1959 saat menjadi Pangdam Diponegoro. “Menjadi semakin aneh” ketika Soeharto yang saat itu pegang komando pasukan terbesar (Pangkostrad) justru “tidak masuk” dalam daftar penculikan.
Pernyataan Untung atas nama Gestapu yang melindungi BK dari “Dewan Jenderal” yang didukung CIA yang akan merencanakan coup sebelum 5 Oktober 1965 dengan disiagakan pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Padahal, pasukan tersebut diundang ke Jakarta dalam rangka memperingati Hari ABRI, 5 Oktober 1965. Menjadi aneh ketika Soeharto kemudian membuat pernyataan susulan untuk menumpas Gestapu dengan menyatakan loyalitas AD tetap ke BK dan menuduh PKI ditambah unsur AURI yang membunuh 6 jenderal hanya karena lokasi sumur Lubang Buaya dekat dengan Pangkalan Halim. Keberadaan BK, Oemar Dhani (KSAU) dan DN Aidhit (Ketua PKI) yang diskenariokan sedemikian rupa (mereka di Halim) menjadi senjata yang ampuh untuk mendelegitimasi image BK agar menimbulkan kesan negatif adanya persekongkolan BK-AURI dan PKI. Peranan Soeharto begitu penting dalam skenario ini. Berlagak sebagai pembela status quo tapi pada kenyataannya justru bergerak sendiri secara berencana untuk merebut kekuasaan. Sebuah skenario yang kemudian ditiru oleh Jenderal Pinochet di Chili (1970-1973) dan juga di Kamboja (1970).
Menarik karena baik pelaku Gestapu (Untung Cs) ataupun yang menumpasnya adalah sama-sama dari Divisi Diponegoro (Yon 454), tempat di mana Soeharto dulu menjadi Pangdamnya. Semakin menarik karena fakta banyak pemimpin Gestapu adalah lulusan pendidikan AS. Jadi ada kelanjutan/kontinuitas antara hasil yang dicapai Gestapu (membunuh Yani cs), kemudian diteruskan oleh Soeharto atas nama penumpasan Gestapu, kemudian menyingkirkan pendukung BK yang tersisa.
Pembunuhan besar-besaran secara sistematis kemudian menyebar dan justru paling dahsyat terjadi ketika Danjen RPKAD, Kol. Sarwo Edhie bergerak dari Jakarta ke Jateng dan Jatim kemudian balik lagi ke Jakarta. Orang sipil yang terlibat dalam pembantaian massal telah dilatih di daerah setempat oleh AD atau dikerahkan dari kelompok (SOKSI dan organisasi mahasiswa Gemsos yang disponsori oleh AD dan CIA), yang selama bertahun-tahun telah bekerjasama dengan AD mengenai masalah-masalah politik; apa yang disebut sebagai Civic Action.
Keenam, dukungan AS terhadap faksi Soeharto. Bukti-bukti keterlibatan orang-orang Soeharto berkolaborasi dengan CIA, misalnya: Pertama, beberapa bulan sebelum Gestapu, seorang utusan Soeharto, Kolonel Walandouw (pelaku pemberontakan PRRI) yang memiliki hubungan lama dengan CIA telah menghubungi pemerintah AS.
Pada bulan Mei 1965, komisi-komisi Lockheed (CIA) di Indonesia telah dialihkan kepada kontrak baru dan perusahaan yang didirikan oleh agennya di Indonesia atau perantara Lockheed yang telah lama dibina. Pengalihan ini karena pertimbangan politis. Di samping Walandouw juga ada Dasaad dan Jenderal Alamsyah; jenderal yang menyokong Soeharto di era awal rezimnya karena Alamsyah menguasai dana-dana besar khusus. Lockhedd-Dasaad-Alamsyah bergandeng dengan gerbong Soeharto yang baru lulus dari SESKOAD. Setidaknya ini juga direkomendasikan Kedutaan AS di tahun 1966.
Ketiga pada April 1965, perusahaan Amerika, Freeport Shulpur telah mencapai suatu kesepakatan pendahuluan dengan para pejabat Indonesia, yang nantinya akan menjadi suatu investasi sebesar $500 juta di bidang tembaga di Papua Barat. September 1965 dalam waktu singkat, setelah minyak dunia melaporkan bahwa industri gas dan minyak Indonesia semakin merosot tajam yang dapat menjurus ke krisis politik, maka presiden ASAMERA dalam suatu usaha patungan dengan Pertaminanya Jenderal Ibnu Sutowo telah membeli saham-saham dalam perusahaan yang pura-pura terancam bangkrut itu seharga hanya $ 50 ribu saja. Ironisnya, pembayaran pada 9 dan 21 September 1965 dilaporkan dalam Wall Street Journal tanggal 9 dan 30 September, yaitu hari terjadinya Gestapu. Hal yang sangat “ajaib”, ketika Negara dalamkondisi gawat. Tapi ada proses deal bisnis antara AD (Pertamina) dengan AS.
Bukti-bukti keterlibatan CIA. Bukti-bukti keterlibatan CIA dalam penggulingan BK, diantaranya: Pertama, kurang dari setahun setelah Gestapu dan pertumpahan darah, dengan riang-gembira James Reston menulis tragedi kemanusiaan besar tersebut dengan tema “Suatu Percikan Sinar di Asia“: “Washington bersikap hati-hati untuk tidak menyatakan suatu pujian terhadap adanya perubahan yang…… di dalam negeri yang berpenduduk terbanyak ke-6 di dunia, serta salah satu negara terkaya di dunia, akan tetapi tidaklah berarti bahwa Washington sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan peristiwa tersebut“.
Kedua, adanya kontak-kontak kekuatan anti komunis Indonesia dengan seorang pejabat Washington yang berkedudukan sangat tinggi sebelum dan selama masa pembantaian massal. Ketiga, adanya kesaksian dari bekas pejabat CIA, Ralph McGehee yang dibenarkan oleh sensor selektif bekas-bekas majikannya dalam CIA.
Strategi yang diciptakan CIA untuk menggoyang sebuah rezim, dengan menciptakan situasi yang sebenarnya dan mencampurinya kemudian menyebarluaskan distorsi skenario ke seluruh dunia melalui propaganda media massanya yang kuat. Tipu muslihat CIA merupakan suatu rencana klasik yang bersifat menggoyahkan situasi, yaitu berusaaha meyakinkan baik pihak kanan ataupun kiri agar tidak bisa berharap mendapatkan perlindungan dari status quo dan berusaha merangsang keduanya untuk melakukan provokasi yang kian massif terhadap pihak lawan.
Gaya tipu dan polarisasi ini dilakukan dengan melempar desas-desus. Hal ini dikuatkan oleh seorang pengamat politik, Saundhaussen. Desas-desus itu diantaranya, dua minggu sebelum Gestapu (14 September 1965); pihak AD diperingatkan bahwa ada suatu komplotan yang akan membunuh pemimpin-pemimpin tentara dalam empat hari mendatang. Laporan kedua seperti itu telah dibahas di markas besar AD 30 September 1965. Setahun sebelumnya, muncul juga dokumen yang menuduh PKI sedang merencanakan suatu penyusupan ke AD untuk menggulingkan “kaum Nasutionis” (diberitakan sebuah harian Malaysia dari Khoirul Saleh, pro-AS). Juga desas-desus selama 1965 bahwa Cina daratan sedang menyelundupkan senjata-senjata untuk PKI sebelum Gestapu (diberitakan oleh sebuah harian Malaysia, mengutip dari sumber Bangkok, yang berdasar dari Hongkong).
Propaganda, tipu-muslihat CIA yang melibatkan media massa multinasional ini menjadi ciri khas “Wurlizzer Perkasa“; yaitu jaringan pokok pers dengan jaringan dunia, yang melalui jaringan pers CIA atau lembaga rekanan seperti M16 yang sangat sulit ditelusuri sumbernya. CIA sangat pintar masuk ke isu, kemudian seolah-olah itu anti AS, padahal baik sisi kiri ataupun kanan sedang masuk dalam perangkap CIA.
Keberhasilan kasus Jakarta sangat menginspirasi CIA untuk kemudian menjatuhkan rezim-rezim yang “tidak direstui” Washington, seperti rezim di Laos (1959/1961), rezim Sihanouk di Kamboja pada tahun 1970, dan penggulingan Allende di Chili pada tahun 1973 dengan sandi “Jakarta se acerca” (Jakarta sedang mendekat).
Di Chili, karena pihak militer masih enggan untuk melawan Allende, CIA membuat sebuah dokumen palsu yang membongkar suatu rencana komplotan kiri untuk membunuh para pemimpin militer Chili. Berita tersebut kemudian disebarluaskan oleh media massa aliansi CIA yang membuat militer Chili terpancing, terprovokasi dan terjebak skenario CIA. Tak lama kemudian Presiden Allende digulingkan dan dibunuh oleh kaum militer.
***
Tidak terasa, selama 10 tahun otak saya dijejali dengan sejarah-sejarah palsu rekayasa Orde Baru dalam film “G 30 S/PKI” karya Arifin C. Noer. 4 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA, guru-guru sejarah kita dipaksa mengajarkan “aliran sesat” berupa sejarah kelam Gestapu di otak saya dan orang-orang muda seangkatan saya.
Kini, film yang dibuat tahun 1984 itu sejak Soeharto terjungkal (1998) sudah tidak lagi ditayangkan -begitu juga dengan film sejarah “Serangan Umum 1 Maret 1949”/”Serangan Fajar 6 Jam Yogya”/”Janur Kuning”. Ini menjadi bukti betapa kelirunya sejarah itu. Tapi aneh, yang direvisi hanya sejarah Janur Kuning di Yogya -itupun akibat tentangan dari pihak Keraton Yogyakarta, sedangkan sejarah Gestapu hingga kini -11 tahun reformasi-masih tetap gelap; pertanda bangsa ini memang akan terus berada dalam kegelapan. Para elite pemimpin kita (baik di birokrasi, militer, aparat) dari era reformasi hingga kini sudah bermental sekarat, sehingga menelusuri sejarah; mengatakan sejarah yang benar saja begitu berat.
Ambisi Soeharto untuk bisa naik tahta menjadi Raja ke-2 Indonesia penuh dengan lumuran darah (setengah) jutaan masyarakat yang tidak berdosa dan derita anak-cucu mereka akibat fitnah. Penggulingan Soekarno dibayar tuntas oleh rezim dan klan Soeharto dengan menyerahkan Papua Barat untuk dieksploitasi sepenuhnya oleh Freeport; usaha yang dulu sangat ditentang oleh Bung Karno. Bagi Amerika, ini adalah sebagai bentuk “imbalan” karena Papua berhasil kembali ke pangkuan NKRI dari cengkeraman Belanda; sebuah rencana panjang AS yang konsisten, sabar dan terstruktur rapi sejak akhir era 40-an (via Konferensi Meja Bundar, 1949).
Jika mencari identitas diri bangsa saja begitu susah, jika menelusuri jejak rekam sejarah bangsa sendiri saja sulit, jika meluruskan kebenaran sejarah bangsa saja takut, bagaimana kita bisa menatap masa depan bangsa ini? Tentu, status quo (yang pro kepada kejahatan, kebiadaban, koruptor, penindasan, kedzaliman, penjual aset-aset bangsa) tetap menjadi pemenang dalam hal ini. Sungguh, Indonesia ini benar-benar sebuah bangsa yang aneh?!
Marshal Green Arsitek Langsung Penggulingan Sukarno
Document2 intelejens maupun pengakuan Marshal Green dalam tugasnya
mengendalikan langsung pasukan 1965 untuk menculik Sukarno dan
jendral2nya bisa anda baca langsung di Internet:
http://books.google.com/books?id=FYc2b4lrSc0C&pg=PA30&lpg=PA30&dq=Marshal+Green&source=web&ots=kvswzzLWDA&sig=OxHg1imDMgumpWHb3y7c7w_QU6M&hl=en&sa=X&oi=book_result&resnum=3&ct=result#PPA29,M1
Because of my name, I too was drawn into this wayang syndrome. At
first I was associated in the eyes of a few of our Indonesian friends
with the Green goddess and with the Legendary beings of Lemuria (the
Lost Atlantis of the Pacific), who were said to be green in color.
Later, I was associated with Army because of the Army's green combat
fatique, and with the Moslems because of their green flag. As to the
name Marshall, Sukarno took delight in telling his audiences that I
denied being a marshal of the Air Force; therefore, I must be a
"marshal of the CIA".
Note:
This queen, Lora Kidul (also known as Green Goddess because of her
aversion to the color green), was said to claim victims among those
entering her watery domain. These victims included the Bulgarian
Ambassador, who perished while swimming in the strong undertow of
Samudra Beach in early 1965.
> "Ibrahim Isa" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya
> yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat,
> dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan
> dengan politik Indonesia.
Di-ulang2 tulisan2 beginian cuma tujuannya untuk menjelaskan bahwa CIA
ikut terlibat kejadian G30S ini.
Padahal untuk apa terus meng-ulang2 hal2 yang sudah secara resmi
direlease oleh CIA dalam buku putihnya ???
CIA adalah designer langsung, pelaku langsung, dan bertanggung jawab
langsung atas gerakan penculikan dan pembunuhan jenderal2 ini. Bahkan
Omar Dhani sendiri mengakui bahwa belum ada jendral Indonesia yang
mampu mendesign gerakan hebat seperti ini.
Gerakan semacam ini sudah berulang kali dilakukan CIA di Amerika Latin
dan juga di Philipina untuk menculik Presiden Marcos dan
memenjarakannya di Hawai.
Dalam G30S, para penculik jendral2 keseluruhannya adalah pasukan
Amerika yang berseragam Cakrabirawa yang juga berhasil menculik Bung
Karno untuk menyaksikan eksekusi jendral2nya di Lubang Buaya.
Apakah enggak terasa aneh? bahwa jendral2 dieksekusi di Lubang Buaya
pada hari dan jam yang sama Sukarno juga berada ditempat yang sama??
Sukarno kemudian dilepaskan untuk diberi kesempatan lengser dengan
cara2 terhormat, dan tak ada kata2 yang bisa disampaikan Bung Karno
untuk membuka kenyataan sebenarnya dimana dia sama sekali tak berdaya
dan tidak berani mati untuk membela jendral2nya yang dieksekusi.
Kalo anda yang jadi Bung Karno, apakah anda berani menyatakan kepada
rakyat RI bahwa anda diculik dibawa ke Lubang Buaya untuk menyaksikan
pembunuhan jendral2 anda dan kemudian dilepaskan oleh pasukan
berseragam Cakrabirawa setelah jendral2nya ditembak mati didepan
matanya ?? Bagaimana anda bisa meyakinkan rakyat anda bahwa pasukan
berseragam cakrabirawa itu adalah pasukan Nekolim yang bukan pasukan
Cakrabirawa yang sebenarnya yang berkhianat ???
Taroh kata anda adalah Bung Karno Presiden RI yang menghadapi situasi
begitu, tentu sebagai orang yang berkuasa tidak susah untuk
mengeluarkan perintah kepada seluruh ABRI untuk menangkap pasukan
penculik ini bukan ???? Tapi sayangnya, pasukan ini memang pasukan
khusus yang lebih dulu berhasil menutup semua jalur komunikasi militer
Indonesia lewat satelit diatasnya sehingga hal inilah memungkinkan
mudahnya menculik Sukarno dan para jendral2 tsb.
Jakarta-Washington, 7 Agustus 2001 00:28
RAHASIA negara tak berumur panjang di Amerika. Dengan Undang-Undang Kebebasan Informasi, alias Freedom of Information Act, yang berlaku sejak 1966, publik Amerika berhak mengakses dokumen negara yang paling rahasia sekalipun, setelah dokumen itu berusia 30 tahun. Tapi, di sisi lain, Amerika juga negeri serba mungkin. Undang-Undang Kebebasan Informasi itu ternyata tak sepenuhnya bebas.
Dalam undang-undang itu, terdapat klausul yang memungkinkan Dinas Intelijen Pusat (CIA) dan Departemen Luar Negeri Amerika menahan proses tersebut. Hal itulah yang terjadi. Melalui CIA dan Departemen Luar Negeri, pemerintahan George Bush Jr. memutuskan menghentikan distribusi sebuah buku yang berisi dokumen rahasia yang telah kedaluwarsa itu.
Keputusan tersebut diumumkan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika, Jumat dua pekan lalu. Buku yang dilarang itu ternyata berisi kiprah diplomat dan intelijen Amerika di Indonesia pada 1964-1968. Penghentian pengedaran buku sejarah resmi Departemen Luar Negeri Amerika itu mengakibatkan semua buku yang sudah ada di rak banyak perpustakaan besar Amerika harus buru-buru diturunkan.
Buku itu memang telah lama dicetak dan disebarkan Kantor Percetakan Pemerintah (GPO). Tak mengherankan jika bersamaan dengan perintah penghentian pengedaran itu, Departemen Luar Negeri Amerika menyalahkan GPO. Departemen Luar Negeri menyatakan bahwa lembaga ini kurang hati-hati, dan telah menerbitkan buku itu tanpa persetujuan Departemen Luar Negeri Amerika.
Walau segera melaksanakan perintah Biro Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri Amerika, dengan menarik kembali buku itu, GPO menolak dituding gegabah. Juru bicara GPO menyatakan, pihaknya telah mendapatkan persetujuan Departemen Luar Negeri, April lalu. Sementara permintaan menarik buku itu baru muncul belakangan.
''Dua pekan terakhir, kami baru dikontak Departemen Luar Negeri. Mereka bilang, 'Ada masalah dengan buku itu, bisakah ditarik dari peredaran?'. Itulah proses yang kami lakukan,'' kata juru bicara GPO, Andrew Sherman. GPO juga menyatakan, kalaupun mereka mampu menarik semua buku, salinan dalam bentuk mikrofilm yang telah dikirim ke luar negeri tak mudah diperoleh lagi.
Persoalan menarik buku dari peredaran memang bukan soal mudah. National Security Archive --lembaga swasta pengkaji masalah keamanan nasional yang terkait dengan George Washington University-- memprotes keras keputusan penarikan itu. Lembaga ini menyatakan bahwa dengan pelarangan ini, CIA telah mencoba memanipulasi fakta sejarah.
''CIA mencoba memasukkan lagi odol ke cepuknya,'' kata Tom Blanton, Direktur National Security Archive, kepada harian The Washington Post, setengah menyindir. Menurut Blanton, semua dokumen dalam buku yang ditarik itu sebenarnya telah dinyatakan bebas dari kerahasiaan pada 1998 dan 1999.
Saking kesalnya, lembaga itu memutuskan memasang seluruh isi buku yang dipersoalkan tersebut dalam situs web mereka, dan mengizinkan siapa pun mengakses dan men-down-load-nya. Juru bicara CIA, Mark Mansfield, menolak tudingan bahwa pihaknya hendak memalsukan sejarah. ''Ini bukan sekadar soal sejarah,'' katanya.
Menurut Mark Mansfield, pihaknya hanya melaksanakan ketentuan yang berlaku. ''Sekaligus, pada saat yang sama, melindungi informasi rahasia yang jika terbongkar membahayakan semua,'' kata Mansfield. Intervensi CIA atas salah satu bagian dari seri penerbitan ''Hubungan Internasional Amerika Serikat'' yang prestisius dan telah terbit sejak 1861 ini memang bukan yang pertama.
Menurut National Security Archive, pada 1990 CIA pernah menyensor dokumen Departemen Luar Negeri mengenai Iran di awal 1950-an. Ketika itu, CIA menghilangkan setiap referensi menyangkut kudeta, berupa dukungan CIA untuk menurunkan Perdana Menteri Mossadegh, 1953. Ketua Komite Penasihat Sejarah Departemen Luar Negeri sampai mengundurkan diri sebagai protes atas penyensoran itu.
Tapi, apakah ada hal yang memang hendak disembunyikan CIA dari buku sejarah peran Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di Indonesia pada kurun 1964-1968 yang ditarik itu? Boleh jadi memang ada, sebab buku itu memang mengandung sejumlah fakta yang selama ini belum terungkap. Naskah yang tersedia lengkap di situs web National Security Archive bisa menunjukkan hal itu.
Buku itu memang mencatat secara lengkap semua kiprah dan dokumen tertulis yang melibatkan diplomat dan intelijen Amerika semasa Angkatan Darat Indonesia melakukan aksi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966, yang mengantar Jenderal Soeharto ke puncak kekuasaan. Bantuan para pejabat Amerika pada Angkatan Darat tersurat cukup jelas dalam buku ini.
Salah satu isu kontroversial, mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam pembunuhan besar-besaran anggota dan kader PKI di seluruh Indonesia, seolah memperoleh penjelasan resmi dalam bentuk dokumen mengenai salah satu radiogram Duta Besar Amerika untuk Indonesia saat itu, Marshall Green.
Dalam radiogram yang dikirimkannya ke Washington pada 10 Agustus 1966, Marshall Green melaporkan bahwa daftar nama pemimpin teras, dan anggota PKI yang dibuat Kedutaan Besar Amerika, merupakan daftar yang dipakai sebagai acuan aparat keamanan --alias Angkatan Darat-- Indonesia, untuk membersihkan Indonesia dari PKI. Tak mustahil, dari nama-nama yang disodorkan Marshall Green itu, sebagian kemudian terbunuh. Melanggar hak asasi manusiakah Amerika?
Selain itu, dalam telegramnya pada 2 Desember 1965, Marshall Green juga mengaku telah melakukan pembayaran (tersembunyi) dengan dana Rp 50 juta kepada gerakan KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh). Dana itu diserahkan sebagai bantuan untuk membiayai aksi perlawanan terhadap orang-orang komunis.
Toh, bagi sebagian kalangan, fakta keterlibatan Amerika Serikat --khususnya CIA-- pada peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto sudah tak bisa disembunyikan lagi. ''Masyarakat keilmuan di Indonesia serta negara lain sudah tahu keterlibatan CIA di Indonesia dan di mana-mana,'' kata Samsu Rizal Panggabean, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kepada Kristiyanto dari GATRA, Samsu Rizal menyatakan bahwa sejak 1954, CIA memang memiliki kebijakan membantu kawan-kawannya di luar negeri. Dengan Program Keamanan Internal Luar Negeri, pengamanan untuk melindungi kepentingan Amerika tak hanya dilakukan dalam wilayah Amerika. ''Melainkan juga di luar negeri, yang juga mereka sebut garis pertahanan,'' kata Samsu Rizal.
Menurut Samsu Rizal, fakta keterlibatan Amerika dalam kasus pembersihan PKI di Indonesia, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di negeri lain, menunjukkan bahwa Amerika --dan juga CIA-- memang tak peduli HAM. ''Waktu itu memang nggak ada istilah HAM. Kecenderungan Amerika berbicara HAM kan baru muncul pada pemerintahan Jimmy Carter,'' kata Samsu Rizal.
Tapi, Samsu Rizal Panggabean juga menduga, keputusan penarikan buku sejarah tentang Indonesia itu bisa saja hanya untuk menghindari rasa tak enak. ''Boleh jadi, ini ada hubungannya dengan Megawati yang naik jadi presiden. Dia kan anaknya Soekarno. Dalam tata krama politik luar negeri, sopan santun seperti itu biasa,'' tutur Samsu Rizal.
Magdalia Alfian, MA, pengajar di Jurusan Pascasarjana Kajian Amerika juga yakin, penarikan ini bersifat politis semata. ''Keterlibatan CIA dalam pendongkelan Soekarno bukan hal baru dalam kajian sejarah. Sudah banyak orang yang menulis soal ini,'' kata Magdalia Alfian, yang juga Ketua Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Maka, menurut Magdalia, penarikan buku itu adalah langkah cari muka Pemerintah Amerika Serikat terhadap pemerintahan baru Indonesia. ''Sebab, waktu penarikannya bertepatan dengan naiknya Megawati, yang putri Soekarno, sebagai presiden. Sementara buku itu bercerita tentang upaya CIA mendongkel kekuasaan Soekarno,'' kata Magdalia kepada Mariana Ariestyawati dari GATRA.
Hal serupa juga dikatakan J. Kristiadi, Direktur Lembaga Penelitian CSIS. ''Saya melihat penarikan buku ini sebagai langkah Pemerintah Amerika menyambut naiknya Megawati sebagai presiden,'' kata Kristiadi. Dalam analisis Kristiadi, Amerika tak mau ambil risiko rusaknya hubungan bilateral dengan Indonesia dengan tersebarnya buku itu.
Boleh jadi, analisi ini benar. Pemerintahan Presiden Bush menyadari bahwa penyebaran buku sejarah yang berisi kisah penggulingan Soekarno, bersamaan dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI, bisa mempengaruhi hubungan Jakarta-Washington. Belakangan, Pemerintah Amerika Serikat memang tampak mendekati pemerintahan Megawati.
Presiden Bush, misalnya, tak menunggu lama untuk menyempatkan diri menelepon Megawati untuk memberi selamat, ketika putri Soekarno ini usai dilantik sebagai presiden. Bukan itu saja, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Colin Powell, juga langsung menindaklanjuti langkah pendekatan dengan menjanjikan pencairan hubungan kerja sama militer antara Amerika dan Indonesia.
Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika mengunjunginya, Paul Wolfowitz, Deputi Menteri Pertahanan Amerika Serikat, meminta secara khusus agar Wahid tidak menentang Megawati. Jika ini benar, tentu menjadi tanda bahwa Amerika Serikat memang menginginkan hubungan baik dengan pemerintahan Megawati makin kuat.
Toh, Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, punya pandangan sedikit lain. Menurut dia, kalaupun buku itu tersebar, hubungan bilateral Indonesia dengan Amerika sebenarnya tak akan terpengaruh. Mengapa? ''Kepedulian sejarah orang Indonesia, termasuk pemimpinnya, sangat kurang,'' Kata Asvi kepada Bambang Febri Triatmojo dari GATRA.
Menurut Asvi, jangankan terhadap sejarah Soekarno, terhadap sejarah yang dialaminya sendiri pun Megawati bisa lupa. ''Lihat saja betapa Megawati tak memberi reaksi pada peringatan peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli lalu,'' kata Asvi. Mungkinkah karena itu pula, bangsa ini terus-menerus jadi korban permainan sejarah yang ditulis bangsa lain?
Jakarta-Washington, 7 Agustus 2001 00:28
RAHASIA negara tak berumur panjang di Amerika. Dengan Undang-Undang Kebebasan Informasi, alias Freedom of Information Act, yang berlaku sejak 1966, publik Amerika berhak mengakses dokumen negara yang paling rahasia sekalipun, setelah dokumen itu berusia 30 tahun. Tapi, di sisi lain, Amerika juga negeri serba mungkin. Undang-Undang Kebebasan Informasi itu ternyata tak sepenuhnya bebas.
Dalam undang-undang itu, terdapat klausul yang memungkinkan Dinas Intelijen Pusat (CIA) dan Departemen Luar Negeri Amerika menahan proses tersebut. Hal itulah yang terjadi. Melalui CIA dan Departemen Luar Negeri, pemerintahan George Bush Jr. memutuskan menghentikan distribusi sebuah buku yang berisi dokumen rahasia yang telah kedaluwarsa itu.
Keputusan tersebut diumumkan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika, Jumat dua pekan lalu. Buku yang dilarang itu ternyata berisi kiprah diplomat dan intelijen Amerika di Indonesia pada 1964-1968. Penghentian pengedaran buku sejarah resmi Departemen Luar Negeri Amerika itu mengakibatkan semua buku yang sudah ada di rak banyak perpustakaan besar Amerika harus buru-buru diturunkan.
Buku itu memang telah lama dicetak dan disebarkan Kantor Percetakan Pemerintah (GPO). Tak mengherankan jika bersamaan dengan perintah penghentian pengedaran itu, Departemen Luar Negeri Amerika menyalahkan GPO. Departemen Luar Negeri menyatakan bahwa lembaga ini kurang hati-hati, dan telah menerbitkan buku itu tanpa persetujuan Departemen Luar Negeri Amerika.
Walau segera melaksanakan perintah Biro Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri Amerika, dengan menarik kembali buku itu, GPO menolak dituding gegabah. Juru bicara GPO menyatakan, pihaknya telah mendapatkan persetujuan Departemen Luar Negeri, April lalu. Sementara permintaan menarik buku itu baru muncul belakangan.
''Dua pekan terakhir, kami baru dikontak Departemen Luar Negeri. Mereka bilang, 'Ada masalah dengan buku itu, bisakah ditarik dari peredaran?'. Itulah proses yang kami lakukan,'' kata juru bicara GPO, Andrew Sherman. GPO juga menyatakan, kalaupun mereka mampu menarik semua buku, salinan dalam bentuk mikrofilm yang telah dikirim ke luar negeri tak mudah diperoleh lagi.
Persoalan menarik buku dari peredaran memang bukan soal mudah. National Security Archive --lembaga swasta pengkaji masalah keamanan nasional yang terkait dengan George Washington University-- memprotes keras keputusan penarikan itu. Lembaga ini menyatakan bahwa dengan pelarangan ini, CIA telah mencoba memanipulasi fakta sejarah.
''CIA mencoba memasukkan lagi odol ke cepuknya,'' kata Tom Blanton, Direktur National Security Archive, kepada harian The Washington Post, setengah menyindir. Menurut Blanton, semua dokumen dalam buku yang ditarik itu sebenarnya telah dinyatakan bebas dari kerahasiaan pada 1998 dan 1999.
Saking kesalnya, lembaga itu memutuskan memasang seluruh isi buku yang dipersoalkan tersebut dalam situs web mereka, dan mengizinkan siapa pun mengakses dan men-down-load-nya. Juru bicara CIA, Mark Mansfield, menolak tudingan bahwa pihaknya hendak memalsukan sejarah. ''Ini bukan sekadar soal sejarah,'' katanya.
Menurut Mark Mansfield, pihaknya hanya melaksanakan ketentuan yang berlaku. ''Sekaligus, pada saat yang sama, melindungi informasi rahasia yang jika terbongkar membahayakan semua,'' kata Mansfield. Intervensi CIA atas salah satu bagian dari seri penerbitan ''Hubungan Internasional Amerika Serikat'' yang prestisius dan telah terbit sejak 1861 ini memang bukan yang pertama.
Menurut National Security Archive, pada 1990 CIA pernah menyensor dokumen Departemen Luar Negeri mengenai Iran di awal 1950-an. Ketika itu, CIA menghilangkan setiap referensi menyangkut kudeta, berupa dukungan CIA untuk menurunkan Perdana Menteri Mossadegh, 1953. Ketua Komite Penasihat Sejarah Departemen Luar Negeri sampai mengundurkan diri sebagai protes atas penyensoran itu.
Tapi, apakah ada hal yang memang hendak disembunyikan CIA dari buku sejarah peran Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di Indonesia pada kurun 1964-1968 yang ditarik itu? Boleh jadi memang ada, sebab buku itu memang mengandung sejumlah fakta yang selama ini belum terungkap. Naskah yang tersedia lengkap di situs web National Security Archive bisa menunjukkan hal itu.
Buku itu memang mencatat secara lengkap semua kiprah dan dokumen tertulis yang melibatkan diplomat dan intelijen Amerika semasa Angkatan Darat Indonesia melakukan aksi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966, yang mengantar Jenderal Soeharto ke puncak kekuasaan. Bantuan para pejabat Amerika pada Angkatan Darat tersurat cukup jelas dalam buku ini.
Salah satu isu kontroversial, mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam pembunuhan besar-besaran anggota dan kader PKI di seluruh Indonesia, seolah memperoleh penjelasan resmi dalam bentuk dokumen mengenai salah satu radiogram Duta Besar Amerika untuk Indonesia saat itu, Marshall Green.
Dalam radiogram yang dikirimkannya ke Washington pada 10 Agustus 1966, Marshall Green melaporkan bahwa daftar nama pemimpin teras, dan anggota PKI yang dibuat Kedutaan Besar Amerika, merupakan daftar yang dipakai sebagai acuan aparat keamanan --alias Angkatan Darat-- Indonesia, untuk membersihkan Indonesia dari PKI. Tak mustahil, dari nama-nama yang disodorkan Marshall Green itu, sebagian kemudian terbunuh. Melanggar hak asasi manusiakah Amerika?
Selain itu, dalam telegramnya pada 2 Desember 1965, Marshall Green juga mengaku telah melakukan pembayaran (tersembunyi) dengan dana Rp 50 juta kepada gerakan KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh). Dana itu diserahkan sebagai bantuan untuk membiayai aksi perlawanan terhadap orang-orang komunis.
Toh, bagi sebagian kalangan, fakta keterlibatan Amerika Serikat --khususnya CIA-- pada peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto sudah tak bisa disembunyikan lagi. ''Masyarakat keilmuan di Indonesia serta negara lain sudah tahu keterlibatan CIA di Indonesia dan di mana-mana,'' kata Samsu Rizal Panggabean, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kepada Kristiyanto dari GATRA, Samsu Rizal menyatakan bahwa sejak 1954, CIA memang memiliki kebijakan membantu kawan-kawannya di luar negeri. Dengan Program Keamanan Internal Luar Negeri, pengamanan untuk melindungi kepentingan Amerika tak hanya dilakukan dalam wilayah Amerika. ''Melainkan juga di luar negeri, yang juga mereka sebut garis pertahanan,'' kata Samsu Rizal.
Menurut Samsu Rizal, fakta keterlibatan Amerika dalam kasus pembersihan PKI di Indonesia, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di negeri lain, menunjukkan bahwa Amerika --dan juga CIA-- memang tak peduli HAM. ''Waktu itu memang nggak ada istilah HAM. Kecenderungan Amerika berbicara HAM kan baru muncul pada pemerintahan Jimmy Carter,'' kata Samsu Rizal.
Tapi, Samsu Rizal Panggabean juga menduga, keputusan penarikan buku sejarah tentang Indonesia itu bisa saja hanya untuk menghindari rasa tak enak. ''Boleh jadi, ini ada hubungannya dengan Megawati yang naik jadi presiden. Dia kan anaknya Soekarno. Dalam tata krama politik luar negeri, sopan santun seperti itu biasa,'' tutur Samsu Rizal.
Magdalia Alfian, MA, pengajar di Jurusan Pascasarjana Kajian Amerika juga yakin, penarikan ini bersifat politis semata. ''Keterlibatan CIA dalam pendongkelan Soekarno bukan hal baru dalam kajian sejarah. Sudah banyak orang yang menulis soal ini,'' kata Magdalia Alfian, yang juga Ketua Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Maka, menurut Magdalia, penarikan buku itu adalah langkah cari muka Pemerintah Amerika Serikat terhadap pemerintahan baru Indonesia. ''Sebab, waktu penarikannya bertepatan dengan naiknya Megawati, yang putri Soekarno, sebagai presiden. Sementara buku itu bercerita tentang upaya CIA mendongkel kekuasaan Soekarno,'' kata Magdalia kepada Mariana Ariestyawati dari GATRA.
Hal serupa juga dikatakan J. Kristiadi, Direktur Lembaga Penelitian CSIS. ''Saya melihat penarikan buku ini sebagai langkah Pemerintah Amerika menyambut naiknya Megawati sebagai presiden,'' kata Kristiadi. Dalam analisis Kristiadi, Amerika tak mau ambil risiko rusaknya hubungan bilateral dengan Indonesia dengan tersebarnya buku itu.
Boleh jadi, analisi ini benar. Pemerintahan Presiden Bush menyadari bahwa penyebaran buku sejarah yang berisi kisah penggulingan Soekarno, bersamaan dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI, bisa mempengaruhi hubungan Jakarta-Washington. Belakangan, Pemerintah Amerika Serikat memang tampak mendekati pemerintahan Megawati.
Presiden Bush, misalnya, tak menunggu lama untuk menyempatkan diri menelepon Megawati untuk memberi selamat, ketika putri Soekarno ini usai dilantik sebagai presiden. Bukan itu saja, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Colin Powell, juga langsung menindaklanjuti langkah pendekatan dengan menjanjikan pencairan hubungan kerja sama militer antara Amerika dan Indonesia.
Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika mengunjunginya, Paul Wolfowitz, Deputi Menteri Pertahanan Amerika Serikat, meminta secara khusus agar Wahid tidak menentang Megawati. Jika ini benar, tentu menjadi tanda bahwa Amerika Serikat memang menginginkan hubungan baik dengan pemerintahan Megawati makin kuat.
Toh, Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, punya pandangan sedikit lain. Menurut dia, kalaupun buku itu tersebar, hubungan bilateral Indonesia dengan Amerika sebenarnya tak akan terpengaruh. Mengapa? ''Kepedulian sejarah orang Indonesia, termasuk pemimpinnya, sangat kurang,'' Kata Asvi kepada Bambang Febri Triatmojo dari GATRA.
Menurut Asvi, jangankan terhadap sejarah Soekarno, terhadap sejarah yang dialaminya sendiri pun Megawati bisa lupa. ''Lihat saja betapa Megawati tak memberi reaksi pada peringatan peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli lalu,'' kata Asvi. Mungkinkah karena itu pula, bangsa ini terus-menerus jadi korban permainan sejarah yang ditulis bangsa lain?
JAKARTA - Sebuah fakta mencengangkan, menyebut mantan Wakil Presiden RI era Soeharto, Adam Malik adalah agen Dinas Rahasia Amerika Serikat (Central Intelligence Agency/CIA). Hal itu terungkap dalam buku berjudul Membongkar Kegagalan CIA, terjemahan dari Legacy of Ashes, the History of CIA karangan wartawan The New York Times Tim Weiner, terbitan Gramedia, tahun 2008.
"Stasiun di Jakarta memiliki segelintir kawan di militer atau pemerintah. Yang pasti stasiun CIA memiliki seorang agen yang punya posisi baik: Adam malik, mantan Marxis (penganut aliran Karl Marx) berusia 48 tahun yang mengabdi sebagai duta besar Sukarno (ditulis bukan Soekarno, red) di Moskow dan menteri perdagangannya," demikian tulis Tim Weiner pada alinia ketiga halaman 330.
Buku ini menyebutkan, kendati Adam Malik pembantu Soekarno sebagai Menteri, laki-laki kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917 itu berseteru sengit dengan Presiden pada 1964. Setelah perseteruan itu, dia bertemu dengan perwira CIA, Clyde McAvoy di sebuah tempat rahasia dan aman di Jakarta. McAvoy adalah operator rahasia yang selama satu dekade sebelumnya telah membantu merekrut seorang perdana menteri masa depan bagi Jepang, dan dia datang ke Indonesia dengan tugas menyusup ke dalam PKI dan pemerintahan Soekarno.
"Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik," ujar Mc Avoy dalam sebuah wawancara pada 2005. "Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut." Adam, pemilik nama lengkap Haji Adam Malik Batubara, diperkenalkan dengan McAvoy oleh seorang pengusaha Jepang di Jakarta dan mantan seorang Partai Komunis di Jepang. Setelah Adam Malik direkrut CIA, Dinas mendapat persetujuan untuk meningkatkan program operasi rahasia mendorong sebuah bajo politis di antara kelompok kiri (komunis), dan kanan (kaum agamawan) di Indonesia.
CIA merekrut Adam Malik dan dikaitkan langsung dengan penggulingan Soekarno. Bagi CIA, posisi Indonesia pada politik regional Asia Tenggara sangat strategis. Setelah mengalami polemik di Thailand karena hanya menciptakan ilusi demokrasi, CIA memulai operasi besar- besaran di seluruh Asia Tenggara setelah Perang Korea 1950-1953.
Di bawah kendali Duta Besar Luar Biasa Amerika di Bangkok, Wild Bill Donovan, Amerika ambisi mematahkan elan laju perkembangan komunisme di Asia Tenggara. Thailand sendiri saat itu berada dalam pimpinan militer diktator. CIA pun mulai membangun proses demokrasi untuk memilih pemimpin demokratis yang benar-benar berasal dari bawah sehingga Ameirka Serikat bisa bergantung pada sebuah rezim pro-Barat yang stabil di ranah Asia Tenggara.
CIA pun mengingatkan Gedung Putih bahwa hilangnya pengaruh Amerika di Indonesia akan membuat kemenangan di Vietnam tak berarti. Agen-agen pun bekerja keras menemukan pemimpin baru Indonesia. Kemudian, 1 Oktober 1865, sebuah gempa politik pecah di Indonesia.
"Tujuh tahun setelah CIA berusaha menggulingkannya, Presiden Sukarno secara diam-diam melancarkan sesuatu yang tampak sebagai sebuah kudeta terhadap pemerintahan sendiri. Setelah memerintah selama dua dekade, Sukarno, yang mulai mengalami masalah kesehatan dan kemunduran dalam kemampuan membuat penilaian, telah berusaha menopang kepemimpinannya dengan bersekutu dengan parai Komunis Indonesia, PKI," tulis Tim Weiner.
Partai ini telah tumbuh berkembang menjadi kuat, berhasil merekrut banyak anggota baru, menjelma menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar Soviet dan Cina, dengan anggota setidaknya berjumlah 3,5 juta orang.
Manuver Sukarno mendekati aliran kiri terbukti menjadi kesalahan fatal. Setidaknya lima orang jenderal dibunuh pada malam itu, termasuk Kepala Staf Angkatan Darat. Dalam beberapa pekan kemudian, Oktober 1965, Indonesia terpecah dua.
"CIA berusaha mengonsilidasi sebuah pemerintahan bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di Jawa Tengah (Yogyakarta, red), dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat Mayor Jenderal bernama Suharto," tulis Tim (halaman 331).
Belakangan diketahui, Soeharto menjadi Presiden didampingi Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX. Pada masa itu, Adam Malik menjabat Wakil Perdana Menteri II/Menteri Luar Negeri RI (1966-1977), dan kemudian menjadi wakil presiden ke-3, tahun 1978-1983, menggantikan Hamengkubuwono IX. (persda network/amb)
TELEGRAM itu dikirim Duta Besar Marshall Green di Jakarta kepada Asisten Menteri Luar Negeri Bill Bundy di Washington. Dikirim melalui roger channel-saluran khusus penghubung asisten menteri bidang intelijen dengan para kepala diplomatik negara itu-pada 2 Desember 1965, Green melaporkan figur yang dianggap penting bagi misi mereka di Indonesia: Menteri Perdagangan Adam Malik.
Adam, ketika itu 48 tahun, dinilai sebagai tokoh di belakang layar Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (Kap-Gestapu). Gerakan ini dilakukan masyarakat luas, tapi direkayasa militer untuk memburu orang-orang yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia. "Melihat hasilnya, saya harus mengatakan program ini sangat berhasil," kata Green dalam telegram itu.
Pak Menteri bukan pemimpin Kesatuan Aksi, tapi ia merupakan tokoh kunci dan promotor gerakan. Dia juga disebut sebagai tokoh pencari dana. Green menulis di awal telegram: "Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan Rp 50 juta untuk Malik, sesuai dengan permintaannya, buat membiayai gerakan Kap-Gestapu." Tanpa bantuan Amerika, Green menulis, Kap-Gestapu pasti akan terus berlanjut. "Tapi di sisi lain, tak bisa dibantah, mereka sangat butuh duit."
Agak sulit menentukan nilai Rp 50 juta ketika itu. Pada 11 September 1965, Bank Indonesia menetapkan kurs rupiah pada angka Rp 30 per dolar AS. Artinya, uang yang digelontorkan lewat Adam bernilai US$ 1,7 juta. Namun, kurs rupiah anjlok setelah Gerakan 30 September 1965. Pada 13 Desember 1965, nilai rupiah menjadi Rp 30 ribu per dolar AS. Pada 21 Desember 1965, pemerintah melakukan pemotongan uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Mulai 14 Januari 1966, nilai tukar rupiah dipatok pada Rp 45 per dolar AS.
Bantuan dana itu diberikan agar Adam berpikir bahwa Amerika setuju dengan peran yang dimainkannya dalam setiap aksi anti-PKI. Dengan duit di tangan, Adam juga dianggap bisa merapatkan hubungannya dengan militer. Menurut Green, kemungkinan terciumnya keterlibatan Amerika dalam misi ini sangat kecil. "Sebagaimana operasi 'tas hitam' yang selalu kita lakukan," ia menulis. "Tas hitam" adalah kata sandi untuk misi rahasia Amerika pada zaman itu.
Dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, membuka dokumen rahasia ini sejak Agustus 2001. Sempat ditutup menjelang kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Washington, dokumen itu kini bisa diunduh di situs Internet Departemen Luar Negeri Amerika. Penerbit Hasta Mitra bahkan telah mengunduh lengkap 374 dokumen itu dan menerbitkannya dalam buku berjudul Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965 pada 2002.
Tim Weiner, wartawan senior The New York Times, memakai dokumen itu untuk mengungkapkan keterlibatan CIA dalam operasi penghancuran Partai Komunis Indonesia yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Soekarno pada 1965. Versi bahasa Inggris, buku berjudul Legacy of Ashes, The History of CIA ini terbit tahun lalu. Isinya mengungkap sisi-sisi gelap operasi rahasia CIA. Buku ini membuat heboh Tanah Air setelah terbit dalam edisi bahasa Indonesia, bulan ini.
Untuk menyusun bagian operasi di Indonesia, Weiner mewawancarai Clyde McAvoy, mantan diplomat yang bertugas di Kedutaan Amerika di Jakarta pada 1961-1966. Menurut Weiner, sang diplomat bertemu dengan Adam di sebuah tempat rahasia dan aman. McAvoy pernah bertugas di Tokyo dan membantu merekrut seorang agen yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri Jepang. Ia bertugas ke Indonesia dengan misi penyusupan ke Partai Komunis Indonesia dan pemerintahan Soekarno.
"Saya merekrut dan mengendalikan Adam Malik," McAvoy mengatakan kepada Weiner pada 2005. "Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut." Perekrutan ini dibantu oleh seorang pengusaha bekas anggota Partai Komunis Jepang, yang tinggal di Jakarta. Setelah perekrutan Adam ini, CIA meningkatkan operasinya. Ketika kemudian Soekarno jatuh, CIA terlibat dalam pembentukan triumvirat yang terdiri atas Adam Malik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Mayor Jenderal Soeharto, ketika itu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Tiga serangkai ini pula yang membidani kelahiran Kap-Gestapu, gerakan yang membunuh sedikitnya 500 ribu orang yang dituding mendukung PKI di seluruh Indonesia.
McAvoy kepada Weiner mengaku bertemu dengan Adam sebelum pembentukan Kap-Gestapu. Ia memberikan 14 unit walkie-talkie di kedutaan kepada Soeharto, yang sekaligus dijadikan alat memonitor gerakan sang jenderal. Pada pertengahan Oktober 1965, Adam mengirim utusan ke rumah perwira politik kedutaan, Bob Martens. Adam mengenal perwira ini ketika menjadi duta besar di Moskow. Kepada utusan Adam, Martens menyerahkan daftar berisi 67 pemimpin Partai Komunis Indonesia. "Sama sekali bukan daftar orang yang akan dibunuh," kata sang diplomat.
Hubungan Adam dengan Washington tetap baik ketika Soeharto yang kemudian berkuasa menunjuknya menjadi Menteri Luar Negeri. Ia diundang berbincang-bincang selama 20 menit dengan Presiden Lyndon B. Johnson di Ruang Oval Gedung Putih. Dengan dukungan Amerika, Adam kemudian terpilih menjadi ketua Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam dokumen lain yang tak dimasukkan ke buku Weiner, terdapat arsip notulan rapat para pejabat tinggi Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Dewan Keamanan Nasional, dan asisten khusus presiden. Dalam memorandum Wakil Presiden Humphrey kepada Presiden Johnson, 25 September 1966, disebutkan ia baru saja bertemu dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik di Sheraton Ritz Hotel, Minneapolis, Amerika.
Dalam pembicaraan tentang bantuan yang dibutuhkan Indonesia itu, Adam menyampaikan pesan Soeharto bahwa kehadiran Amerika di Vietnam berakibat langsung atas terjadinya perubahan di Indonesia. Pernyataan ini merupakan "hadiah" Jakarta untuk Johnson, yang ketika itu terus dikritik karena kegagalan perang di Vietnam. Kepada Tempo, Weiner mengatakan, semua bukti itu menunjukkan bahwa Adam Malik bekerja sebagai agen untuk Amerika Serikat pada 1965-1966.
l l l
LAHIR pada 22 Juli 1917 di Pematangsiantar, Sumatera Utara, dari keluarga besar, Adam tumbuh dalam kehidupan penuh warna. Ia memimpin organisasi sopir di kampungnya ketika belum bisa menyetir. Tamat HIS (setingkat sekolah dasar), ia berhenti sekolah untuk bisa bergaul dengan teman-temannya. Sang ayah mengirimnya ke Madrasah Thawalib Parabek, Bukittinggi, pada 1930. Madrasah ini adalah pendidikan formal terakhir bagi anak ketiga dari 10 bersaudara ini.
Menurut putra pertamanya, Otto Malik, Adam sangat mengagumi Soekarno dan Tan Malaka, pendiri Partai Murba. Ia mendapatkan buku-buku Tan yang diselundupkan dari Singapura lewat kelompok pergerakan di Pematangsiantar. Adam juga memburu buku Tan dari Partai Republik Indonesia (Pari), yang didirikan Tan pada Juni 1927. Pada akhirnya, ia ikut memimpin Murba yang didirikan sang tokoh idola. Murba yang menganut sosialis-demokrat-nasionalis berseberangan dengan ideologi Partai Komunis Indonesia.
Adam yang dikenal dengan sebutan "Bung Kancil" mengenal Bung Karno sejak persiapan Proklamasi 1945. Adam bergabung dengan kelompok Komite Van Aksi Menteng 31 bersama antara lain Sukarni, Chaerul Saleh, Nitimihardjo, dan Pandu Kartawiguna. Kelompok ini menyebarluaskan Proklamasi 17 Agustus 1945, berdaulatnya Republik Indonesia, dan kekalahan Jepang.
Pada 1959, Soekarno mengangkat Adam menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kurang dari setahun, Presiden mengirim Adam ke Moskow sebagai Duta Besar Luar Biasa untuk Uni Soviet dan Polandia. Selama menjadi duta besar, Adam mempelajari kehidupan negara komunis itu. "Bung berpendapat, praktek komunis tak sesuai dengan teorinya. Ajaran ini perlu dievaluasi," kata Otto, kini 65 tahun.
Soekarno mengangkat Adam menjadi Menteri Perdagangan pada 1963. Menduduki posisi barunya ini, nama Adam banyak disebut dalam dokumen CIA. Pada sebuah telegram tertanggal 25 November 1964, tertulis Adam bersama-sama dengan Soeharto, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution, Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh, serta Brigadir Jenderal Sukendro, asisten intelijen Angkatan Darat, sangat berharap campur tangan Amerika ketika Soekarno berkonflik dengan Malaysia. Adam dan Chaerul Saleh-dua tokoh Murba-merupakan kekuatan yang berseberangan dengan Soebandrio-Partai Komunis Indonesia.
Ada juga memorandum intelijen CIA tanggal 2 Desember 1964 yang membahas pembentukan Badan Pelaksana Pro-Soekarnoisme. Dibentuk dengan dalih menyelamatkan Pancasila, gerakan ini sebetulnya ditujukan untuk membentuk kekuatan pengimbang Partai Komunis Indonesia di lingkaran Soekarno. Adam Maliklah pemimpin gerakan Pro-Soekarno yang juga melibatkan Chaerul Saleh ini.
Menurut memorandum itu, Adam bertemu dengan Howard Palfrey Jones, Duta Besar Amerika sebelum Green, pada 19 November 1965. Kepada Jones, Adam melaporkan bahwa gerakan Pro-Soekarnoisme telah didukung Nahdlatul Ulama, satu-satunya partai muslim yang aktif ketika itu. Soekarno terkesan hati-hati terhadap gerakan ini. Menurut Malik, tertulis dalam dokumen itu, petinggi NU pada 18 November telah meminta dan menerima persetujuan Soekarno untuk menyampaikan ide-ide non-komunis dalam kunjungannya ke Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Ada pula dokumen lain yang dikirim pada 4 November 1965. Isinya: "Hatta, Adam Malik, dan lainnya, yang kita tahu dari CAS dan laporan lain memiliki kontak dengan para pemimpin Angkatan Darat, mungkin disimpan untuk periode post-Soekarno". Menurut Tim Weiner, CAS adalah kode Departemen Luar Negeri untuk CIA. Tentu saja, dokumen-dokumen itu tidak memberikan kepastian bahwa Adam adalah agen CIA.
Menurut Nitimihardjo Hadidjojo N., penulis pidato Adam Malik, Bung Kancil memang pernah berhubungan dengan CIA. Mendapat perintah dari Soekarno untuk berunding soal Irian Barat dengan Belanda, Adam bergaul dengan Ellsworth Bunker, diplomat senior dan agen CIA yang mewakili Amerika Serikat sebagai mediator. Perundingan berlangsung pada akhir Maret 1962 di Middleburg Virginia.
Amerika berkepentingan agar tak terjadi perang di Irian Barat. Karena itu, Amerika menekan Belanda agar menarik pasukannya dari sana. Tapi Belanda kukuh ingin mendirikan Negara Papua di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kepada Bunker, Adam menyatakan, jika Belanda tetap menolak mundur, perang sulit dielakkan. Melalui sidang NATO di Athena, Amerika menekan Belanda agar menerima Irian Barat masuk Indonesia. Sebagai imbalannya, Amerika meminta Adam Malik menggalang kekuatan antikomunis. "Tapi bukan berarti Bung adalah agen CIA," tuturnya.
Hadidjojo, kini 61 tahun, meminta posisi Adam dilihat dalam konteks Perang Dingin. Kerja intelijen, katanya, selalu berusaha merangkul musuh lawan. Murba, partai Adam, merupakan musuh Partai Komunis Indonesia. "Jadi, secara teori, semua musuh PKI adalah teman Amerika. Tapi kan tidak harus menjadi agen Amerika," katanya.
Para tokoh, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla; anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution; juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, menafikan kemungkinan Adam merupakan agen CIA. Namun seorang mantan pejabat intelijen senior di Tentara Nasional Indonesia menyatakan, bisa saja informasi itu benar. "Mungkin bukan agen, tapi binaan: mereka yang direkrut untuk kepentingan jaringan intelijen CIA," tuturnya.
Tim Weiner mengatakan, "agen" adalah seseorang yang melakukan sesuatu atas permintaan perwira CIA. Adapun para perwira itu sering menyamar menjadi diplomat pada perwakilan Departemen Luar Negeri AS. "Jadi sangat mungkin seorang agen asing mengira dia sedang berhubungan langsung dengan Departemen Luar Negeri, padahal dia sedang memberikan informasi kepada perwira CIA," katanya.
l l l
AGEN atau bukan, Adam dikenal sebagai pribadi yang terbuka. Ketika menjadi wakil presiden, kawan-kawan lamanya bisa dengan mudah menelepon dan kemudian bertamu ke rumahnya. Ia selalu memenuhi permintaan para tamunya. Pernah suatu ketika, menurut cerita Joesoef Isak, temannya ketika menjadi wartawan pada 1950-an, seseorang dari Aceh minta duit untuk berobat. Adam langsung menulis memo kepada Direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo agar orang itu dibantu.
Esok harinya, Direktur Rumah Sakit meminta konfirmasi apakah surat yang dibawa si pasien benar dari Adam. Wakil Presiden membenarkan dan kembali meminta agar si pasien dibantu. Sang direktur rumah sakit menyanggupi, tapi kemudian mengingatkan kelak akan ada ratusan pasien datang jika Adam selalu memberikan memo. Joesoef mengatakan, "Adam lalu menjawab: tak usah kau pikirkan yang seratus pasien. Pikirkan saja yang satu orang itu."
Joesoef juga menjadikan Adam tujuan mencari bantuan. Keluar dari penjara dengan tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia, ia datang bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Mereka meminta uang, dan langsung diberi. Sebelum pulang, Joesoef mengatakan di rumahnya dan rumah Pramoedya belum ada telepon. "Dia langsung memanggil sekretarisnya agar membantu pemasangan telepon untuk rumah kami," tutur pemilik penerbit Hasta Mitra itu.
Dengan pembawaannya yang supel dan terbuka seperti itu, Joesoef tak menutup kemungkinan bahwa Adam benar menjadi agen CIA. Sambil mengepulkan asap rokoknya, pria 80 tahun itu menyatakan: "Namanya juga intel, enggak mungkin ada yang jelas." Tentu saja, tak pernah ada bukti perekrutan.
Budi Setyarso, Sunudyantoro, Yuliawati
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Hal yang memalukan ini mengingatkan seseorang kepada peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian terhadap orang Tionghoa.
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Pengusutan dan penyelidikan
o 1.1 Penuntutan Amandemen KUHP
• 2 Lihat pula
• 3 Rujukan
• 4 Pranala luar
[sunting] Pengusutan dan penyelidikan
Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan TGPF" [4]
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatarbelakang militer[5]. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini[6][7][8].
Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.[9]
[sunting] Penuntutan Amandemen KUHP
Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan amandemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998), disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam, anal, dan oral. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.[10]
TRAGEDI NASIONAL PERISTIWA MADIUN PKI, DI/TII, G 30 S/PKI, DAN KONFLIK-KONFLIK INTERNAL LAINNYA
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, perjuangan bangsa Indonesia belum selesai dan sangat berat. Mengapa? Sebab menghadapi dua musuh dalam perjuangan. Di satu sisi harus berjuang mem-pertahankan kemerdekaan dari ancaman Sekutu dan NICA. Sementara disisi lain harus menghadapi tindakan makar dari gerakan separatis. Mereka menikam dari belakang, di saat bangsa membutuhkan kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan. Tindakan makar itu tidak bisa dibiarkan, harus ditumpas. Berkat kesigapan TNI yang didukung rakyat, akhirnya pemberontakan dapat ditumpas. Agar kalian lebih jelas, ikutilah pembahasan berikut ini!
A. Pemberontakan PKI di Madiun Tahun 1948
Membahas tentang pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948. Mengapa kabinet Amir jatuh? Jatuhnya kabinet Amir disebabkan oleh kegagalannya dalam Perundingan Renville yang sangat merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya,pada tanggal 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) Untuk memperkuat basis massa, FDR membentuk organisasi kaum petani dan buruh. Selain itu dengan memancing bentrokan dengan menghasut buruh. Puncaknya ketika terjadi pemogokan di pabrik karung Delanggu (Jawa Tengah) pada tanggal 5 Juli 1959. Pada tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba dari Moskow. Amir dan FDR segera bergabung dengan Musso. Untuk memperkuat organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu bernama Jalan Baru. PKI banyak melakukan kekacauan, terutama di Surakarta.
Oleh PKI daerah Surakarta dijadikan daerah kacau (wildwest). Sementara Madiun dijadikan basis gerilya. Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di Indonesia. Tujuannya untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Pada waktu yang bersamaan, gerakan PKI dapat merebut tempat-tempat penting di Madiun. Untuk menumpas pemberontakan PKI, pemerintah melancarkan operasi militer. Dalam hal ini peran Divisi Siliwangi cukup besar. Di samping itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk mengerahkan pasukannya menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Dengan dukungan rakyat di berbagai tempat, pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun berhasil direbut kembali oleh tentara Republik. Pada akhirnya tokoh-tokoh PKI seperti Aidit dan Lukman melarikan diri ke Cina dan Vietnam. Sementara itu, tanggal 31 Oktober 1948 Musso tewas ditembak. Sekitar 300 orang ditangkap oleh pasukan Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948 di daerah Purwodadi, Jawa Tengah.
Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun, maka selamatlah bangsa dan negara Indonesia dari rongrongan dan ancaman kaum komunis yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penumpasan pemberontakan PKI dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri, tanpa bantuan apa pun dan dari siapa pun. Dalam kondisi bangsa yang begitu sulit itu, ternyata RI sanggup menumpas pemberontakan yang relatif besar oleh golongan komunis dalam waktu singkat.
B. Pemberontakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII)
1. DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat
Berdasarkan Perundingan Renville, kekuatan militer Republik Indonesia harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda. TNI harus mengungsi ke daerah Jawa Tengah yang dikuasai Republik Indonesia. Tidak semua komponen bangsa menaati isi Perjanjian Renville yang dirasakan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah S.M. Kartosuwiryo beserta para pendukungnya. Pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tentara dan pendukungnya disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan Darul Islam yang didirikan oleh Kartosuwiryo mempunyai pengaruh yang cukup luas. Pengaruhnya sampai ke Aceh yang dipimpin Daud Beureueh, Jawa Tengah (Brebes, Tegal) yang dipimpin Amir Fatah dan Kyai Somolangu (Kebumen), Kalimantan Selatan dipimpin Ibnu Hajar, dan Sulawesi Selatan dengan tokohnya Kahar Muzakar. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 12.1 berikut.
C. Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), Andi Azis, dan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pada masa pemerintahan RIS, muncul pemberontakan-pemberontakan yang mengguncang stabilitas politik dalam negeri. Pemberontakan-pemberontakan tersebut antara lain gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), pemberontakan Andi Azis, dan Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS). Lihat tabel 12.2 berikut.
D. Konflik onflik Internal Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah dan Dampaknya terhadap Munculnya Pergolakan dan Pemberontakan Daerah
Sejak pemerintahan kabinet Ali II, muncul berbagai masalah mengenai hubungan pusat dan daerah. Beberapa masalah yang timbul yaitu sebagai berikut:
1. Sikap tidak senang terhadap pemerintah pusat, terutama di Sumatra dan Sulawesi. Mereka merasa tidak puas dengan alokasi biaya pembangunan yang diterima dari pusat.
2. Terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemerintah pusat. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sekitar tahun 1957 memang tidak harmonis. Ketidakharmonisan ini terlihat dengan munculnya berbagai pergolakan di daerah. Di samping itu ada beberapa daerah yang berusaha melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan yang berusaha lepas dari NKRI disebut gerakan sparatis. Beberapa contoh gerakan yang menentang pemerintah pusat misalnya, Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda, yang kemudian berkembang menjadi PRRI/Permesta.
1. Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah seperti berikut.
a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Setelah menerima ultimatum, maka pemerintah bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek yang memimpin gerakan sparatis. Langkah berikutnya tanggal 12 Februari 1958 KSAD A.H. Nasution membekukan Kodam Sumatra Tengah dan selanjutnya menempatkan langsung di bawah KSAD.
Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagai perdana menterinya adalah Mr. Syafruddin Prawiranegara. Agar semakin tidak membahayakan negara, pemerintah melancarkan operasi militer untuk menumpas PRRI. Berikut ini operasi militer tersebut.
a. Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel
Ahmad Yani untuk wilayah Sumatra Tengah. Selain untuk menghancurkan kaum sparatis, operasi ini juga dimaksudkan untuk mencegah agar gerakan tidak meluas, serta mencegah turut campurnya kekuatan asing.
b. Operasi Tegas dipimpin Letkol Kaharudin Nasution. Tugasnya mengamankan Riau, dengan pertimbangan mengamankan instalasi minyak asing di daerah tersebut dan mencegah campur tangan asing dengan dalih menyelamatkan negara dan miliknya.
c. Operasi Saptamarga untuk mengamankan daerah Sumatra Utara yang dipimpin Brigjen Djatikusumo.
d. Operasi Sadar dipimpin Letkol Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatra Selatan.
Akhirnya pimpinan PRRI menyerah satu per satu. Misalnya Ahmad Hussein tanggal 29 Mei 1961 melaporkan diri beserta pasukannya, dan diikuti yang lain. Dengan demikian pemberontakan PRRI dapat dipadamkan.
2. Pemberontakan Permesta
Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17 Februari 1958 Somba memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas. Untuk menumpas gerakan Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer beberapa kali. Berikut ini operasi-operasi militer tersebut.
a. Komando operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.
b. Operasi Saptamarga I dipimpin Letkol Sumarsono, menumpas Permesta di Sulawesi Utara bagian Tengah.
c. Operasi Saptamarga II dipimpin Letkol Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
d. Operasi Saptamarga III dipimpin Letkol Magenda dengan sasaran kepulauan sebelah Utara Manado.
e. Operasi Saptamarga IV dipimpin Letkol Rukminto Hendraningrat, menumpas Permesta di Sulawesi Utara.
f. Operasi Mena I dipimpin Letkol Pieters dengan sasaran Jailolo.
g. Operasi Mena II dipimpin Letkol Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai.
Ternyata Gerakan Permesta mendapat dukungan asing, terbukti dengan ditembak jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh Alan Pope warga negara Amerika Serikat tanggal 18 Mei 1958 di atas Ambon. Meskipun demikian, pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, walaupun sisa-sisanya masih ada sampai tahun 1961.
E. Peristiwa Tragedi Nasional G 30 S/PKI Tahun 1965
1. Kondisi Politik Menjelang G 30 S/PKI
Doktrin Nasakom yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno memberi keleluasaan PKI untuk memperluas pengaruh. Usaha PKI untuk mencari pengaruh didukung oleh kondisi ekonomi bangsa yang semakin memprihatinkan. Dengan adanya nasakomisasi tersebut, PKI menjadi salah satu kekuatan yang penting pada masa Demokrasi Terpimpin bersama Presiden Soekarno dan Angkatan Darat. Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan yang disebut “aksi sepihak”. Para petani dan buruh, dibantu para kader PKI, mengambil alih tanah penduduk, melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan. Untuk melancarkan kudeta, maka PKI membentuk Biro Khusus yang diketuai oleh Syam Kamaruzaman. Biro Khusus tersebut mempunyai tugas-tugas berikut.
a. Menyebarluaskan pengaruh dan ideologi PKI ke dalam tubuh ABRI.
b. Mengusahakan agar setiap anggota ABRI yang telah bersedia menjadi anggota PKI dan telah disumpah dapat membina anggota ABRI lainnya.
c. Mendata dan mencatat para anggota ABRI yang telah dibina atau menjadi pengikut PKI agar sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.
Memasuki tahun 1965 pertentangan antara PKI dengan Angkatan Darat semakin meningkat. D.N. Aidit sebagai pemimpin PKI beserta Biro Khususnya, mulai meletakkan siasat-siasat untuk melawan komando puncak AD. Berikut ini siasat-siasat yang ditempuh oleh Biro Khusus PKI.
a. Memojokkan dan mencemarkan komando AD dengan tuduhan terlibat dalam persekongkolan (konspirasi) menentang RI, karena bekerja sama dengan Inggris dan Amerika Serikat.
b. Menuduh komando puncak AD telah membentuk “Dewan Jenderal” yang tujuannya menggulingkan Presiden Soekarno.
c. Mengorganisir perwira militer yang tidak mendukung adanya “Dewan Jenderal”.
d. Mengisolir komando AD dari angkatan-angkatan lain.
e. Mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari para buruh dan petani yang dipersenjatai.
Ketegangan politik antara PKI dan TNI AD mencapai puncaknya setelah tanggal 30 September 1965 dini hari, atau awal tanggal 1 Oktober 1965. Pada saat itu terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat.
2. Seputar Penculikan Para Jenderal AD, Usaha Kudeta, dan Operasi Penumpasan
Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira AD, kemudian dikenal Gerakan 30 S/PKI. Secara rinci para pimpinan TNI yang menjadi korban PKI ada 10 orang, yaitu 8 orang di Jakarta dan 2 orang di Yogyakarta. Mereka diangkat sebagai Pahlawan Revolusi.
Berikut ini para korban keganasan PKI.
a. Di Jakarta
1) Letjen Ahmad Yani, Men/Pangad.
2) Mayjen S.Parman, Asisten I Men/Pangad.
3) Mayjen R. Suprapto, Deputi II Men/Pangad.
4) Mayjen Haryono, M.T, Deputi III Men/Pangad.
5) Brigjen D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad.
6) Brigjen Sutoyo S, Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral TNI AD.
7) Lettu Piere Andreas Tendean, Ajudan Menko Hankam/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
8) Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, Pengawal rumah Wakil P.M. II Dr. J. Leimena.
b. Di Yogyakarta
1) Kolonel Katamso D, Komandan Korem 072 Yogyakarta.
2) Letnan Kolonel Sugiyono M., Kepala Staf Korem 072 Yogyakarta.
Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri. Akan tetapi putrinya Ade Irma Suryani tertembak yang akhirnya meninggal tanggal 6 Oktober 1965, dan salah satu ajudannya ditangkap. Ajudan Nasution (Lettu Pierre A. Tendean), mayat tiga jenderal, dan tiga jenderal lainnya yang masih hidup dibawa menuju Halim. Di Halim, para jenderal yang masih hidup dibunuh secara kejam. Sejumlah anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut. Ketujuh mayat kemudian dimasukkan dalam sebuah sumur yang sudah tidak dipakai lagi di Lubang Buaya. Untuk mengenang peristiwa yang mengerikan tersebut, di Lubang Buaya dibangun Monumen Pancasila Sakti. Peristiwa pembunuhan juga terjadi di daerah Yogyakarta. Komandan Korem 072 Yogyakarta Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya Letkol Sugiyono diculik dan dibunuh oleh kaum pemberontak di Desa Kentungan. Pagi hari sekitar jam 07.00 WIB Letkol Untung berpidato di RRI Jakarta. Dalam pidatonya, Letkol Untung mengatakan bahwa “Gerakan 30 September” adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk melindungi Presiden Soekarno dari kudeta. Kudeta itu direncanakan oleh suatu dewan yang terdiri atas jenderal-jenderal Jakarta yang korup yang menikmati penghasilan tinggi dan menjadi kaki tangan CIA (Agen Rahasia Amerika). Setelah mendengar pidato Letkol Untung di RRI, timbul kebingungan di dalam masyarakat. Presiden Soekarno berangkat menuju Halim. Presiden mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan, serta menjaga persatuan. Diumumkan pula bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu berada langsung di tangan presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Selain itu melaksanakan tugas seharihari ditunjuk Mayjen Pranoto. Namun, di saat yang sama, tanpa sepengetahuan presiden Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan AD.
3. Penumpasan G 30 S/PKI
Pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno mengemukakan masalah penyelesaian peristiwa G 30 S/PKI. Dalam rangka penjelasan G 30 S/PKI, presiden menetapkan kebijaksanaan berikut.
a. Penyelesaian aspek politik akan diselesaikan sendiri oleh presiden.
b. Penyelesaian aspek militer dan administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto
c. Penyelesaian militer teknis, keamanan, dan ketertiban diserahkan kepada Mayjen Soeharto
Berikut ini penumpasan G 30 S/PKI dari aspek militer. Lihat tabel 12.3
4. Dampak Sosial Politik dari Peristiwa G 30 S/PKI
Berikut ini dampak sosial politik dari G 30 S/PKI.
a. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.
b. Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di Indonesia.
c. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.
d. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak.
selama kita berpikir tentang KESETARAAN SOSIAL dan KESETARAAN EKONOMI,, kita TAKKAN PERNAH MAJU dalam SETIAP PERGERAKAN dan semua hanya SEBATAS ANGAN serta MIMPI....
seorang manusia biasa,,, TIDAK LEBIH!!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar